Suatu hari penulis mellihat di media sosial praktek berjalan di tempat dalam keadaan mata tertutup. Kesimpulannya berjalan di tempat dengan menutup mata sulit dilakukan.
Penulis mencoba melakukannya untuk menguji kebenarannya. Apa iya tidak bisa dilakukan? Jangan-jangan pelaku di media sosial yang penulis lihat hanya berpura-pura saja. Terkadang ada hal-hal yang lebai di media sosial untuk menciptakan kehebohan agar banyak yang menonton.
Penulis mengajak istri untuk melakukannya. Jika ada dua orang yang berhasil melakukannya, maka semakin kuat bahwa apa yang dilakukan di media sosial itu salah dan dibuat hanya untuk lucu-lucuan saja. Kami menutup mata dan mulai jalan di tempat selama beberapa menit.
Setelah membuka mata, posisi istri yang semula berada di samping penulis, berpindah menjadi di hadapan penulis. Sambil tertawa ia mengatakan bahwa rasanya ia sudah berjalan di tempat dan tidak ke mana-mana.
Kami mencoba sekali lagi. Kali ini dengan serius agar tidak berpindah tempat. Hasilnya penulis berpindah tidak terlalu jauh, tetapi penulis berubah posisi. Semula menghadap barat, setelah berjalan di tempat, penulis menghadap ke arah selatan.
Ternyata jika hanya mengandalkan perasaan, sulit untuk berjalan di tempat dalam keadaan mata tertutup. Jika ada yang berhasil melakukannya, mungkin ia melakukan kecurangan dengan membuka matanya sedikit.
Di dalam penelitian yang lain disebutkan bahwa jika seseorang berjalan lurus di sebuah gurun yang luas, tanpa sadar ia akan berjalan dengan rute yang membentuk lingkaran. Meskipun ia merasa telah berjalan lurus ke depan.
Ada yang mengatakan bahwa ini disebabkan karena kaki kanan dan kaki kiri tidak sama dan persis. Ada kaki yang lebih dominan berupa lebih panjang atau lebih kuat. Akibatnya ia berjalan membentuk lingkaran dan kembali ke tempat semula. Gagal keluar dari gurun yang luas.
Jika seseorang ingin berjalan lurus di padang gurun yang luas, ia bisa menggunakan kompas sebagai alat bantu. Alternatif lainnya dengan menggunakan matahari atau bintang sebagai patokan sebagaimana yang dilakukan oleh para pelaut.
Manusia tidak Boleh hanya Mengandalkan Perasaan Saja.
Perasaan manusia bersifat relatif. Manusia membutuhkan alat ukur untuk memastikan dan menguji kebenaran perasaannya. Sangatlah berbahaya jika mengandalkan perasaan untuk hal-hal yang penting.Bayangkan jika seorang dokter mengandalkan perasaan saja dalam mendiagnosis penyakit. Ada beberapa penyakit yang memiliki gejala yang sama. Kalau tidak menggunakan alat ukur, dokter akan kesulitan untuk menentukan jenis penyakitnya.
Gejala yang Muncul harus Diukur untuk Mengetahui Tingkat Keparahan.
Contohnya adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini memiliki gejala yang mirip dengan beberapa penyakit lain seperti tipus, campak, dan lain-lain.
Memastikan penyakit DBD tidak cukup dengan adanya gejala demam dan munculnya bintik-bintik merah saja. Perlu cek darah di laboratorium. Jika jumlah trombosit di dalam darah di bawah normal, itu merupakan tanda yang mengkonfirmasi adanya penyakit DBD. Jika penyakitnya sudah pasti, dokter bisa memberikan perawatan dengan mudah.
Dokter bisa menguji penyakit DBD dengan mudah karena sudah mengetahui bahwa indikator yang perlu diuji adalah jumlah trombosit di dalam darah. Ketika ia merasa bahwa pasien kemungkinan DBD, ia segera mengukur indikator DBD.
Di segala bidang, ada indikator yang harus selalu diukur agar proses berjalan dengan baik. Jika indikator menunjukan warna kuning, kewaspadaan harus dilakukan. Jika berwarna merah, itu tanda keadaan bahaya.
Jika indikator berwarna hijau, pengukuran cukup satu kali dalam satu periode. Jika inidkator berwarna kuning, pengukuran harus dilakukan beberapa kali dalam satu periode.
Jika indikator menunjukkan warna merah, artinya kondisi dalam keadaaan darurat. Perlu konsentrasi penuh. Kalau perlu seseorang harus meminta orang lain untuk membantu mengembalikan indikator kembali ke warna hijau.
Anehnya ada orang-orang yang menjalani kehidupan tanpa berusaha memiliki kompas sama sekali. Bagaimana ia mengetahui bahwa ia berada di jalan yang benar atau salah? Bagaimana mau mengukur, sedangkan indikatornya saja tidak tahu.
Ini seperti orang awam disuruh mengobati orang yang sakit DBD. Ia tidak memiliki alat untuk mengukur jumlah trombosit yang ada di dalam darah. Parahnya lagi bahwa ia tidak tahu bahwa indikator yang harus diukur adalah jumlah trombosit.
Indikator dalam kehidupan adalah kitab suci dan perkataan para ulama yang memahami maksud dari kitab suci tersebut. Untuk mengetahui apakah berada di jalan yang benar, cukup dengan mengukur perbuatan dengan perintah-perintah yang ada di dalam kitab suci.
Ketika Al-Quran menyuruh membayar zakat, seseorang bisa mengukur dirinya. Jika ia membayar zakat berarti ia berada di jalan yang benar. Jika tidak itu menjadi indikasi bahwa ia telah berbuat dosa. Demikian juga dengan indikator-indikator lainnya.
Masalahnya, karena tidak membaca Al-Quran, ia tidak mengetahui indikator apa yang harus diukur. Tidak tahu ada indikator yang digunakan untuk mengetahui cara mengelola harta yang benar. Tidak tahu indikator hubungan dengan Allah SWT. Tidak tahu indikator menjadi suami yang baik, dan indikator lainnya.
Seseorang yang memegang kompas saja bisa tersesat, apalagi yang tidak memegang kompas. Kompas bisa mengalami mengalami kerusakan. Biasanya jika Google Map sudah mulai ngawur dan tidak sesuai lagi, ada instruksi untuk mengkalibrasi dengan menggoyangkan HP dengan gerakan membentuk angka delapan. Mengembalikan kondisi kompas yang error.
Seseorang yang sudah memegang kitab atau bersama ulama saja masih bisa salah jalan. Sebagaimana kompas, bisa saja terjadi kesalahan penulisan, penterjemahaan atau penafsiran kitab yang menjadi kompas. Bisa saja ia bertemu seseorang yang sebenarnya bukan ulama.
Ada sebuah doa di dalam Al-Quran yang membuat seseorang terbimbing untuk menemukan jalan yang benar. Doa yang bisa membuat seseorang memiliki keinginan untuk membaca kitab dan ingin mendekat kepada para ulama. Doa yang bisa mengantarkan bertemu dengan para ulama yang alim. Doa tersebut adalah:
Meskipun sudah memegang indikator kebenaran dengan membaca kitab dan bergaul dengan ulama, manusia tetap membutuhkan petunjuk dari Allah SWT. Itu sebabnya membaca Al-Fatihah dengan sepenuh hati sangatlah penting bagi orang-orang yang memahaminya.
Membaca surah Al-Fatihah bisa dikatakan seperti kuliah di kampus kedokteran bagi seorang dokter. Membaca Al-Fatihah adalah kunci untuk membuka pengetahuan tentang berbagai macam indikator kebenaran dalam kehidupan. Masih mau masuk surga dengan mengandalkan perasaan? Nggak mau tahu indikatornya? Yang pasti-pasti aja deh.
Wallahu a'lam bishshowab
Memastikan penyakit DBD tidak cukup dengan adanya gejala demam dan munculnya bintik-bintik merah saja. Perlu cek darah di laboratorium. Jika jumlah trombosit di dalam darah di bawah normal, itu merupakan tanda yang mengkonfirmasi adanya penyakit DBD. Jika penyakitnya sudah pasti, dokter bisa memberikan perawatan dengan mudah.
Dokter bisa menguji penyakit DBD dengan mudah karena sudah mengetahui bahwa indikator yang perlu diuji adalah jumlah trombosit di dalam darah. Ketika ia merasa bahwa pasien kemungkinan DBD, ia segera mengukur indikator DBD.
Di segala bidang, ada indikator yang harus selalu diukur agar proses berjalan dengan baik. Jika indikator menunjukan warna kuning, kewaspadaan harus dilakukan. Jika berwarna merah, itu tanda keadaan bahaya.
Jika indikator berwarna hijau, pengukuran cukup satu kali dalam satu periode. Jika inidkator berwarna kuning, pengukuran harus dilakukan beberapa kali dalam satu periode.
Jika indikator menunjukkan warna merah, artinya kondisi dalam keadaaan darurat. Perlu konsentrasi penuh. Kalau perlu seseorang harus meminta orang lain untuk membantu mengembalikan indikator kembali ke warna hijau.
Indikator Perjalanan Kehidupan.
Perjalanan kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Itu sebabnya dalam menjalani kehidupan yang hanya sekali ini, seseorang harus memahami indikator-indikator untuk memastikan ia berada di jalur yang benar. Tidak boleh hanya mengandalkan perasaan. Sesekali mengukur capaian indikator untuk berjaga-jaga.Anehnya ada orang-orang yang menjalani kehidupan tanpa berusaha memiliki kompas sama sekali. Bagaimana ia mengetahui bahwa ia berada di jalan yang benar atau salah? Bagaimana mau mengukur, sedangkan indikatornya saja tidak tahu.
Ini seperti orang awam disuruh mengobati orang yang sakit DBD. Ia tidak memiliki alat untuk mengukur jumlah trombosit yang ada di dalam darah. Parahnya lagi bahwa ia tidak tahu bahwa indikator yang harus diukur adalah jumlah trombosit.
Indikator dalam kehidupan adalah kitab suci dan perkataan para ulama yang memahami maksud dari kitab suci tersebut. Untuk mengetahui apakah berada di jalan yang benar, cukup dengan mengukur perbuatan dengan perintah-perintah yang ada di dalam kitab suci.
Ketika Al-Quran menyuruh membayar zakat, seseorang bisa mengukur dirinya. Jika ia membayar zakat berarti ia berada di jalan yang benar. Jika tidak itu menjadi indikasi bahwa ia telah berbuat dosa. Demikian juga dengan indikator-indikator lainnya.
Masalahnya, karena tidak membaca Al-Quran, ia tidak mengetahui indikator apa yang harus diukur. Tidak tahu ada indikator yang digunakan untuk mengetahui cara mengelola harta yang benar. Tidak tahu indikator hubungan dengan Allah SWT. Tidak tahu indikator menjadi suami yang baik, dan indikator lainnya.
Seseorang yang memegang kompas saja bisa tersesat, apalagi yang tidak memegang kompas. Kompas bisa mengalami mengalami kerusakan. Biasanya jika Google Map sudah mulai ngawur dan tidak sesuai lagi, ada instruksi untuk mengkalibrasi dengan menggoyangkan HP dengan gerakan membentuk angka delapan. Mengembalikan kondisi kompas yang error.
Seseorang yang sudah memegang kitab atau bersama ulama saja masih bisa salah jalan. Sebagaimana kompas, bisa saja terjadi kesalahan penulisan, penterjemahaan atau penafsiran kitab yang menjadi kompas. Bisa saja ia bertemu seseorang yang sebenarnya bukan ulama.
Ada sebuah doa di dalam Al-Quran yang membuat seseorang terbimbing untuk menemukan jalan yang benar. Doa yang bisa membuat seseorang memiliki keinginan untuk membaca kitab dan ingin mendekat kepada para ulama. Doa yang bisa mengantarkan bertemu dengan para ulama yang alim. Doa tersebut adalah:
"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS. Al-Fatihah ayat 6)"Kalimat “Tunjukilah kami jalan yang lurus (ihdinash shirotol mustaqim)” adalah kalimat yang harus dibaca minimal tujuh belas kali di dalam sholat sehari semalam. Kalimat ini sangat penting karena manusia memahami bahwa ia sangat mudah tersesat.
Meskipun sudah memegang indikator kebenaran dengan membaca kitab dan bergaul dengan ulama, manusia tetap membutuhkan petunjuk dari Allah SWT. Itu sebabnya membaca Al-Fatihah dengan sepenuh hati sangatlah penting bagi orang-orang yang memahaminya.
Membaca surah Al-Fatihah bisa dikatakan seperti kuliah di kampus kedokteran bagi seorang dokter. Membaca Al-Fatihah adalah kunci untuk membuka pengetahuan tentang berbagai macam indikator kebenaran dalam kehidupan. Masih mau masuk surga dengan mengandalkan perasaan? Nggak mau tahu indikatornya? Yang pasti-pasti aja deh.
Wallahu a'lam bishshowab
Posting Komentar