Seseorang bercerita kepada penulis bahwa ia baru merasakan i’tikaf setelah mutasi ke KPP Pratama Tenggarong. Beberapa karyawan KPP Pratama Tenggarong memang memiliki kebiasaan itikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Rupanya ada yang mengajak beliau untuk mencoba melaksanakan ibadah i’tikaf.
Di beberapa masjid, peserta i’tikaf tidak perlu repot memikirkan menu sahur dan berbuka puasa. Semua diurus oleh panitia i’tikaf yang berkhidmat melayani peserta i’tikaf. Sebagai perantau yang jauh dari keluarga, makan sahur bersama teman i’tikaf bisa mengurangi derita sebagai jomblo perantauan.
Ia berkata, “Hal yang paling saya syukuri setelah mutasi ke KPP Tenggarong adalah i’tikaf.” Ia belum pernah i’tikaf di tempat-tempat mutasi sebelumnya. Mungkin ia mendapatkan pencerahan selama i’tikaf yang membuatnya memiliki sudut pandang yang berbeda.
Hal lain yang mungkin terjadi, sebagaimana yang dirasakan penulis dan banyak peserta i’tikaf, ia merasakan kenikmatan yang optimal dalam ibadah-ibadah yang dilakukan selama i’tikaf. Kenikmatan ibadah yang membuat beliau sangat bersyukur karena mencoba i’tikaf.
Nabi Muhammad SAW selalu beri’tikaf setiap tahun sampai wafatnya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori disebutkan:
Dari Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW bahwa Nabi Muhammad SAW beritikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti itikaf pada waktu tersebut setelah wafatnya beliau. (HR. Imam Bukhori)I’tikaf juga merupakan kebiasaan dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ini bisa dilihat dari ayat Al-Quran berikut:
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang itikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (QS. Al-Baqarah ayat 125)Seberapa penting kegiatan i’tikaf perlu dilakukan oleh orang beriman? Bagaimana cara melaksanakan i’tikaf yang bisa menjadi titik perubahan kehidupan seseorang?
Fungsi i’tikaf dalam kehidupan bisa diibaratkan dengan fungsi liburan atau cuti bagi para pekerja. Kalau liburan beristirahat dari bekerja, i’tikaf beristirahat dari memikirkan masalah dunia.
Pekerja membutuhkan liburan untuk melepaskan diri dari kesibukan bekerja. Mesin saja harus diistirahatkan untuk menghindari kerusakan. Demikian juga dengan jiwa yang selalu disibukkan dengan urusan dunia.
Pekerja membutuhkan waktu khusus untuk berkumpul bersama keluarganya. Tamasya membawa anak-anak ke tempat-tempat wisata yang akan menjadi kenangan masa kecil mereka bersama orang tuanya. Bermain bersama untuk menimbulkan keakraban tanpa diganggu oleh gangguan pekerjaan.
Di hari-hari kerja, dering telpon bisa merusak rencana-rencana yang sudah disusun bersama keluarga. Pekerja tidak bisa fokus menyisihkan waktu untuk keluarga. Cuti dan liburan adalah momen yang tepat yang bisa bebas dari gangguan.
Begitu juga dengan manusia yang memerlukan waktu khusus untuk bersama Tuhannya. I’tikaf pada dasarnya adalah meninggalkan urusan dunia dan fokus menjalin hubungan dengan Allah SWT. Berdiam di masjid dan meninggalkan urusan jual beli dan segala bisnis.
Idealnya i’tikaf sebagaimana sunah Nabi adalah sepuluh hari. Namun, jika hanya bisa sehari juga diperbolehkan. Bahkan ada madzhab yang menganggap sah ibadah ‘itikaf meskipun hanya satu jam saja. Madzhab yang cocok bagi orang kantoran dan sudah tidak memiliki cuti tahunan lagi.
I’tikaf akan batal jika pergi meninggalkan masjid untuk urusan dunia. Ketika seseorang ingin berniat beribadah i’tikaf, maka ia harus menguatkan tekad untuk meninggalkan urusan bisnisnya.
Jika dipikir-pikir, di dalam setahun ada 365 hari, apa iya tidak bisa menyisihkan beberapa hari saja untuk fokus beribadah? Apa benar pekerjaan yang beberapa hari tersebut tidak bisa digeser-geser ke hari-hari yang lain?
Saat i’tikaf, karena tidak terganggu dengan urusan dunia, seseorang bisa lebih nyaman beribadah. Jika berada di rumah, pasti akan ada saja urusan yang harus diselesaikan. Asyik membaca Al-Quran tiba-tiba teringat baju yang sobek, bak mandi belum dikuras, lampu gudang yang mati belum diganti. Kalau di masjid, apa yang bisa dikerjakan?
Oleh karena tanpa gangguan, ibadah bisa menjadi lebih asyik. Ibadah juga lebih semangat karena berada di tengah orang-orang yang beribadah. Melihat orang bersujud, membaca Al-Quran, dan berdzikir sambil memutar tasbih akan memberikan dorongan tersendiri.
“Ah saya lihat orang berdzikir biasa aja tuh.” Orang yang tidak merasa bertambah semangatnya ketika melihat orang beribadah menunjukkan bahwa ia belum pernah merasakan nikmatnya ibadah.
Ibarat orang yang tidak tergiur melihat kambing panggang, kemungkinan ia belum pernah merasakan nikmatnya kambing panggang. Justru orang-orang tidak bertambah semangatnya saat melihat orang beribadah harus mencoba i’tikaf agar memahami manisnya ibadah.
Ibadah di rumah, selain adanya distraksi yang mengurangi fokus, juga sullit bertahan lama. Melihat bantal, guling dan selimut yang hangat, sudah menimbulkan rasa kantuk yang luar biasa. Sulit menyaingi ibadahnya mereka yang sedang beri’tikaf. Mereka yang beri’tikaf memang telah bertekad untuk beribadah.
Jika ada yang i’tikaf tetapi ibadahnya tidak bertambah kemungkinan mereka adalah para pengungsi. Pergi ke masjid untuk pindah tidur. Daripada repot disuruh-suruh istri buang sampah, angkat galon air, dan gendong anak, pakai alasan i’tikaf mengungsi ke masjid.
Beristirahat dari kerumitan urusan dunia dengan i’tikaf akan membuat seseorang memiliki waktu untuk berpikir. Bertafakur atas segala nikmat, tujuan hidup, dan hal-hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan karena sibuk memikirkan dunia. Mereka yang bertafakur mendapat pujian di dalam ayat berikut:
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS. Ali Imran ayat 190)Ketenangan hati yang didapat dari i’tikaf juga akan mendukung kemampuan tafakur. Ketenangan hati adalah pintu dari tafakur yang mendalam. Tafakur yang bisa merubah pandangan hidup seseorang.
Memilih masjid untuk beri’tikaf tentu memerlukan pertimbangan tertentu. Ada yang memilih masjid yang banyak jamaahnya. Ada yang memilih masjid yang memiliki kamar mandi dan toilet yang bersih. Ada yang memilih masjid yang menu sahurnya istimewa.
Gara-gara perbedaan persepsi tentang masjid yang nyaman, penulis dan istri kadang-kadang beri’tikaf di masjid yang berbeda. Anak-anak pun terbagi mengikuti masjid yang dianggap nyaman. Jadi, Ramadhan tahun ini, kamu akan liburan ke masjid mana?
Wallahu a'lam bishshowab
Barakallahu fikk Ustadz
BalasHapus