Suatu hari penulis berbincang-bincang dengan seorang teman. Setelah berbicara dari utara sampai selatan (istilah Jawa “ngalor ngidul”), ada kalimat yang terucap yang menurut penulis keren. Ia berkata, “Untuk urusan keuangan, saya sudah selesai.” Maksudnya adalah ia sudah merasa cukup dengan rejeki harta yang ia miliki. Apa yang dirasakan oleh teman penulis, merupakan perwujudan dari rasa bersyukur.
Keren karena banyak orang yang belum puas dan masih pusing mencari uang sebanyak-banyaknya. Banyak yang merasa belum aman dengan penghasilan atau aset yang dimiliki saat ini.
Di dalam kehidupan beragama, bersyukur adalah ibadah yang tinggi nilainya. Perintah bersyukur banyak tercantum di dalam Al-Quran antara lain:
Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (QS. Al-Baqarah ayat 152)Sebaliknya, tidak merasakan nikmat Tuhan adalah perbuatan tercela yang diancam dengan azab yang pedih. Larangan kufur nikmat di antaranya adalah:
Dan ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras." (QS. Ä°brahim ayat 7)Secara teori bisa dikatakan semua orang mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan. Namun, secara praktek, sedikit yang mampu melakukannya. Jumlah yang sedikit menyebabkan orang-orang yang mampu bersyukur dan merasakan kebahagiaan hidup adalah orang-orang yang keren. Bukti sedikitnya orang yang bersyukur tercantum di dalam Al-Quran:
Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur. (QS. Saba’ ayat 13)Teman penulis bukanlah lulusan sekolah syariah. Berbeda dengan istrinya yang besar di pesantren. Ia mengatakan bahwa ilmu agamanya jauh di bawah ilmu agama istrinya. Ia melewati masa mudanya di sekolah umum dan sering mengganggu dan menggoda santriwati yang tinggal di daerah kauman yang kini menjadi istrinya.
Meskipun tidak mengenyam pendidikan sekolah syariah secara khusus, pada dasarnya ia telah mempraktekkan kewajiban syariah berupa bersyukur. Kewajiban yang belum tentu bisa dilakukan oleh lulusan S3 Syariah.
Jurang terbentang antara pikiran dan perbuatan
Adanya gap antara teori dengan praktek adalah fenomena yang sering terjadi. Seharusnya, dengan ilmu yang lebih mendalam, seseorang lebih mengetahui secara detil bahaya atau manfaat sesuatu yang dipelajarinya.Ibarat seorang dokter dengan rokok. Logikanya dokter tentu lebih mampu menghindari rokok karena ia telah berkali-kali menemui pasien yang menderita penyakit disebabkan rokok. Penulis teringat cerita seseorang yang mengatakan bahwa ia berhenti merokok karena dimarahi oleh dokter. “Kamu mau mati ya!”, kata dokter itu dengan galaknya.
Faktanya ada dokter yang merokok. Bayangkan ekspresi wajah pasien jika melihat dokter yang selama ini memarahinya karena merokok ternyata dengan nikmatnya menghisap “angin surga”.
Hati adalah raja
Perbedaan antara yang “difahami” dengan yang “dilakukan” menunjukkan bahwa yang menjadi raja di dalam tubuh manusia bukanlah akal tetapi hati. Akal hanyalah perdana menteri yang memberikan nasehat dan pertimbangan hal-hal yang harus dilakukan. Namun, pengambil keputusan tetaplah hati.Akal menerima data dari panca indera. Panca indra yang paling banyak memberikan data untuk diolah menjadi informasi oleh akal adalah pendengaran dan penglihatan. Meskipun menjadi pusat pengolah data, akal tidak berhak memberikan keputusan. Ia harus melaporkan informasi kepada hati yang menjadi raja. Allah SWT berfirman
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. (QS An-Nahl ayat 78)Pendengaran dan penglihatan yang tidak lengkap dalam memberikan data bisa membuat hati salah dalam mengambil keputusan. Contohnya jika pendengaran dan penglihatan hanya memberikan data orang-orang kaya, maka hati akan sulit untuk bersyukur.
Jika pendengaran dan hati juga memberikan data orang-orang miskin yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada orang kaya, hati akan lebih mudah mengambil keputusan untuk bersyukur.
Pengesahan hati sebagai raja juga dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW yang bersabda:
Sesungguhnya di dalam jasad (badan) terdapat segumpal daging, jika ia bagus maka seluruh jasadnya bagus. Dan jika rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah! Segumpal daging itu adalah hati. (HR Bukhari dan Muslim)Dengan posisinya sebagai raja, maka yang akan menentukan kedudukan seseorang di akhirat kelak adalah kondisi hatinya. Semakin sehat hatinya, semakin tinggi kedudukannya kelak di akhirat. Allah SWT berfirman:
Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS As-Syu'ara' ayat 87-89)
Majelis pembersih hati
Pentingnya hati menjadikan seseorang seharusnya memiliki semangat untuk mendatangi majelis-majelis dzikir. Ada orang yang sangat bersemangat untuk mendatangi majelis ilmu, namun merasa enggan untuk mendatangi majelis-majelis dzikir.“Ah, buat apa. Hanya berdzikir dan bersholawat saja. Habis itu makan-makan lalu pulang”, pikirnya. Baginya kurang afdhol jika datang ke suatu majelis hanya berdzikir saja. Padahal majelis ilmu dan majelis dzikir sama-sama penting.
Memang majelis yang ideal adalah majelis yang menggabungkan keduanya. Majelis ilmu akan mengantar seseorang untuk mengetahui aturan Allah SWT, majelis dzikir akan menimbulkan cinta kepada Allah SWT. Cintalah yang akan membuat seseorang sangat senang untuk mentaati aturan Allah SWT.
Kenikmatan majelis ilmu adalah adanya pengetahuan baru yang membuat segalanya menjadi jelas. Kenikmatan majelis dzikir dan sholawat adalah rasa rindu dan cinta yang menggetarkan dada.
Ada riwayat dan pendapat ulama yang mengisyaratkan bahwa majelis ilmu lebih penting daripada majelis dzikir. Salah satunya adalah Imam Al-Ghozali.
Namun, tentu semua tergantung situasi dan kondisi. Dalam hal masyarakat banyak yang memiliki hati yang bersih namun bodoh terhadap aturan agama, tentu majelis ilmu lebih utama. Jika di dalam masyarakat banyak orang yang pintar dan faham aturan agama, tetapi memiliki hati yang kotor, tentu majelis dzikr lebih utama untuk mereka.
Seperti membandingkan mana yang lebih penting makanan atau minuman. Orang yang kelaparan tentu lebih utama diberikan makanan daripada disuruh minum. Sebaliknya orang yang kehausan, dia akan semakin dehidrasi jika disuruh makan.
Hati yang keras di masa kini
Saat ini dengan perkembangan teknologi, manusia sudah tidak kekurangan lagi akan ilmu pengetahuan. Hampir semua kitab sudah diterjemahkan dan dijelaskan dengan detil. Bahkan, dengan adanya mesin penjawab artificial intelligence, tanpa harus repot membuka kitab, jawaban dengan mudah didapatkan.Sayangnya pemakai media sosial dan jurnalis lebih menyukai berita buruk daripada berita baik. Bad news is good news, cerita tentang kejahatan lebih laku untuk dijual. Akibatnya masyarakat dicekoki dengan berita-berita kejahatan yang membuat hati menjadi keras.
Seandainya Imam Ghozali hidup kembali dan melihat kondisi media sosial saat ini, mungkin ia akan merubah fatwanya. Mungkin ia akan mengatakan bahwa saat ini majlis dzikir sama pentingnya dengan majelis ilmu.
Wallahu a'lam bishshowab
Barakallahu fikkum Ustadz
BalasHapus