UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Kelompok Gerakan “Biasa-Biasa Saja”



Dalam suatu ceramah, Gus Baha menceritakan temannya saat masih menjadi santri di pesantren. Entah bercanda atau tidak, temannya mengatakan bahwa ia beribadah biasa-biasa saja karena kalau ibadahnya luar biasa maka kelak dia akan masuk surga kelas atas. Surga yang sekelas dengan Mbah Maimon Zubair yang mengasuh pesantren.

Temannya mengatakan bahwa kalau berkumpul dengan Mbah Maimon itu sungkan. Nggak bisa bebas. Biasanya di pesantren, para santri sangat menjaga adab dan prilakunya ketika ada Mbah Maimon. Santri yang sedang bebas bersantai-santai, saat Mbah Maimon lewat, berubah menjadi tertib dan serius. Kebayang nggak lagi memeluk bidadari di surga tiba-tiba Mbah Maimon lewat? Khan nggak seru.

Alasan yang dipakai teman Gus Baha tentu alasan yang dibuat-buat. Perasaan sungkan, cemburu, dendam, iri, dan lain-lain sudah dicabut dari dada para penghuni surga. Semua perasaan yang membuat tidak enak para penghuni surga sudah hilang karena perasaan tersebut akan menghalangi kebahagiaan para penghuni surga.

Allah SWT berfirman:
Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran". Dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan" (QS. Al-A’raf ayat 43)
Para penghuni surga saling mencintai. Mereka senang ketika melihat penghuni surga yang lain mendapatkan kebahagiaan. Seandainya penghuni surga masih memiliki rasa iri, tentu ia tidak bahagia saat melihat orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya di surga. Apalagi orang-orang tersebut adalah musuh bebuyutannya di dunia. Lalu apa bedanya dengan hidup di dunia?

Gerakan “ibadah biasa-biasa saja” yang dikatakan kawan Gus Baha, kadang terdengar juga di masyarakat dengan berbagai macam motivasinya. Kalimat ini di satu sisi menyiratkan optimisme bahwa masuk surga itu gampang. Ada aroma berbaik sangka bahwa Allah SWT akan memasukkannya ke dalam surga meskipun berada di level bawah.

Meskipun berbaik sangka dan husnudzhon dengan kebaikan Allah SWT itu penting, berusaha keras untuk mendapatkan surga yang tertinggi itu juga penting. Berada di pinggir jurang tentu memiliki risiko terjatuh ke dalamnya. Lebih baik menghindari risiko dengan berada jauh dari tepi jurang.

Usaha Maksimal Harus Dilakukan untuk Memastikan Keberhasilan

Ibarat ujian mengerjakan sepuluh soal dan syarat lulus ujian adalah nilai tujuh, tentu peserta ujian tidak boleh puas jika sudah mengerjakan tujuh soal. Tidak boleh berhenti mengerjakan semua soal meskipun merasa sudah bisa menjawab tujuh soal dengan benar. Ia harus mengerjakan semuanya. Ada kemungkinan di antara tujuh soal yang ia rasa sudah benar jawabannya ternyata salah menurut penguji.

Siapa yang bisa meyakini bahwa amal kebaikan seseorang sudah lebih banyak dari dosanya? Apakah ia tahu berat setiap amal di atas timbangan? Bagaimana kalau ternyata ia salah perhitungan? Sudah optimis masuk surga, eh ternyata harus mampir ke neraka.

Amal Kebaikan Dapat Diterima Jika Memenuhi Syarat Sah

Contohnya kasus tiga orang yang diceritakan di dalam hadits Nabi. Seseorang penghafal Al-Quran, seseorang yang berjihad di jalan Allah, dan seseorang yang bersedekah. Ternyata ada masalah dengan niat mereka ketika beramal. Amalnya tidak memenuhi syarat sah sehingga tidak diterima.

Ada lagi kasus seseorang yang seharusnya masuk ke dalam surga. Namun, anaknya yang masuk ke dalam neraka menuntutnya karena selama di dunia, ayahnya tidak pernah mengajarkan agama. Anaknya merasa bahwa ayahnya tidak menjalankan kewajibannya untuk membimbingnya ke dalam surga. Akibat tuntutan anaknya, ayahnya terseret ke dalam neraka.

Sudah yakin masuk surga, ternyata ada kewajiban-kewajiban yang tidak dijalankan. Kewajiban membayar utang, kewajiban meminta maaf, kewajiban melaksanakan amanah, dan kewajiban lainnya.

Dosa-Dosa Besar yang Dianggap Ringan

Hal lain yang tidak terduga adalah dosa-dosa yang dianggap kecil yang ternyata merupakan dosa besar. Seseorang menganggap kecil dosa karena melihat banyak masyarakat melakukannya. Perbuatan yang lazim dilakukan oleh masyarakat di daerah tersebut.

Seseorang yang tinggal di daerah perjudian, lama-lama menganggap judi adalah hal biasa. Seseorang yang tinggal di daerah yang bebas menjual minuman keras akan menganggap meminum minuman keras bukan dosa besar. Itulah sebabnya seseorang harus berhati-hati dalam memilih tempat tinggal.

Hal lain yang tidak disadari adalah dosa besar adalah membicarakan keburukan orang lain (ghibah). Begitu menariknya informasinya sehingga alarm bahwa ghibah adalah dosa tidak berbunyi. Apalagi jika yang membawa berita merasa itu perbuatan biasa. Ia pun sering melakukannya.

“Eh, Jeng, istri pak RT itu utangnya banyak lho.” Bagi pembawa berita, itu hanya masalah kecil karena ia juga sering berutang. Tapi belum tentu bagi istri pak RT pembicaraan utangnya adalah masalah kecil. Bagi dia itu adalah aib yang sangat memalukan. Ia tidak ridho masalah utangnya diketahui orang lain.

Banyak dosa yang terasa ringan dilakukan, ternyata menimbulkan efek merugikan yang sangat besar. Ada kasus seseorang yang mendapat bully di media sosial. Mungkin pelaku merasa itu adalah hal yang ringan. Faktanya korban bully memilih untuk bunuh diri. Ia bunuh diri setelah melaporkan pelaku ke polisi.

Tidakkah pelaku sadar bahwa bully yang ia lakukan di media sosial bisa tersebar ke ribuan orang? Apakah ia tidak memikirkan bahwa korbannya bisa dipecat, diceraikan, atau kehilangan pelanggan?

Ada warung yang sudah berdiri selama beberapa generasi akhirnya tutup setelah mendapat review negatif dari seorang netizen. Bisnis yang selama puluhan tahun dibangun dengan susah payah akhirnya hancur karena cuitan ringan. Ia merasa melakukan dosa ringan, tetapi ia telah membuat hancur masa depan sebuah keluarga.

Dosa yang kecil bisa menjadi besar tergantung situasi dan kondisi. Tergantung pelakunya, kondisinya, waktunya, tempatnya, dan lain-lain.

Dosa yang dilakukan oleh orang yang bodoh masih bisa dimaklumi. Namun, dosa yang sama jika dilakukan oleh orang yang berilmu dan menyadari itu adalah perbuatan dosa, tentu tidak bisa dimaafkan.

Dosa yang dilakukan oleh rakyat kecil tentu tidak memiliki efek yang besar. Namun dosa yang dilakukan pemimpin, yang menjadi contoh, tentu memberi dampak yang luas. Jika pemimpin melakukan korupsi, maka para bawahannya tidak akan ragu-ragu untuk melakukan hal yang sama.

Dosa kepada orang tua akan berbeda nilainya dengan dosa kepada orang lain. Orang tua telah memberikan pengorbanan yang banyak untuk anaknya. Seseorang yang telah menyakiti kedua orang tuanya bisa membuat murka Allah SWT.

Dosa yang dilakukan di bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab) akan dianggap besar sebagaimana juga berbuat baik dilipatgandakan pahalanya. Begitu juga dengan berbuat dosa di tanah haram (Mekkah dan Madinah).

Adanya kemungkinan tidak diterimanya amal karena tidak memenuhi syarat sah, serta adanya kemungkinan dosa besar yang dianggap kecil membuat seseorang harus memperbanyak amal untuk memastikan tiket ke surga. Masih mau ikut gerakan “ibadah biasa-biasa saja”? Masih mau duduk-duduk di pinggir jurang?

Wallahu a'lam bishshowab

1 komentar

Translate