Penulis pernah membaca pengalaman seorang ibu yang menceritakan kisah Malin Kundang kepada anaknya. Kisah Malin kundang adalah cerita rakyat dari Sumatera Barat.
Malin Kundang adalah anak durhaka yang dikutuk oleh ibunya menjadi batu. Cerita ini sering dibawakan untuk membuat anak-anak berbakti kepada orang tua.
"Yaaah, kok dikutuk jadi batu, khan kasian." komentar anaknya setelah mendengar akhir cerita. Ä°a justru merasa kasihan kepada Malin Kundang yang harus menjadi batu. Ia menganggap ibu Malin Kundang keterlaluan dan tidak menyayangi anaknya.
Lho, kok malah ibu Malin kundang yang menjadi terdakwa? Target dari kisah tidak tercapai. Mungkin ada bagian kisah yang terlewatkan atau pembawa cerita kurang mendramatisir suasana di dalam cerita.
Jika maksud cerita adalah untuk membela ibu Malin kundang, seharusnya cerita yang dibawakan mendetilkan perasaan yang dirasakan oleh ibu Malin Kundang. Hancurnya perasaan ibu Malin Kundang dengan hati yang begitu perih seperti disayat-sayat perlu dijelaskan. Kalau perlu, sebelum episode kutukan, anak sudah menangis sedih karena kasihan kepada ibunya.
Episode kehidupan ibu Malin Kundang yang menderita demi membesarkan anaknya perlu diperbanyak. Episode perjalanan Malin kundang tidak perlu panjang-panjang. Yang diangkat dari sisi Malin Kundang cukup sisi keganasan dan kekejiannya terhadap ibunya.
Setiap cerita memiliki berbagai macam sudut pandang. Keberpihakan pendengar akan tergantung oleh pembawa cerita. Di sisi lain, karakter pendengar yang berbeda-beda juga menjadi faktor dalam memilih pihak yang dibela.
Seperti kisah Malin Kundang di atas. Wajar saja jika terjadi perdebatan, siapakah yang bersalah. Apakah Malin Kundang atau ibu Malin Kundang yang keterlaluan? Apakah layak perbuatan jahat Malin Kundang dibalas dengan kutukan menjadi batu?
Balasan atas perbuatan baik adalah perbuatan yang baik atau yang lebih baik sudah disepakati. Lalu bagaimana dengan kejahatan? Apakah perbuatan jahat layak dibalas dengan kejahatan, didiamkan, atau dibalas dengan kebaikan?
Di dalam Al-Quran sudah dijelaskan terkait dengan perbuatan jahat. Allah SWT berfirman:
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS. An-Nahl ayat 126)
Allah SWT menetapkan untuk manusia bahwa perbuatan baik boleh dibalas dengan perbuatan yang lebih baik. Namun, untuk perbuatan jahat tidak diperkenankan dibalas dengan perbuatan yang lebih jahat. Maksimal balasan untuk perbuatan jahat adalah balasan yang sama.
Pembalasan atas kejahatan diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang damai. Jika tidak ada hukuman, maka kejahatan akan merajalela. Adanya ancaman hukuman saja masih banyak yang melanggar, apalagi jika tidak ada ancaman hukuman sama sekali. Opsi hukuman diperlukan untuk menangani kejahatan.
Ada manusia-manusia yang karakternya sulit untuk dirubah jika tidak ada mekanisme hukuman. Mereka baru jera setelah mendapat hukuman. Dialog saja tidak cukup buat mereka. Sangat aneh jika balasan kejahatan tidak ada opsi hukuman.
Meskipun ada opsi untuk memberikan hukuman, jika diperkirakan sang pelaku sudah menyesali perbuatannya, korban kejahatan bisa mengambil opsi memaafkan sebagaimana yang ditetapkan di dalam Al-Quran Surah An-Nahl ayat 126. Memaafkan pelaku kejahatan, bahkan membalasnya dengan kebaikan bisa memperdalam rasa penyesalannya. Ia akan teringat seumur hidupnya.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Tatkala Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari)
Membalas kejahatan dengan kebaikan memang bisa memberikan efek yang kuat untuk menjadikannya bertaubat. Namun, tidak semua orang mampu melakukan hal ini. Melakukan pembalasan adalah hal yang manusiawi. Membalas kejahatan dengan memberi hukuman memberikan rasa lega.
Bukti memberikan hukuman atas kejahatan memberikan rasa lega bisa dilihat dari fenomena para penonton sinetron. Mereka rela menonton lanjutan dari serial sinetron untuk mendapatkan episode yang menghukum peran-peran yang jahat.
Emosi ini difahami oleh para produser sinetron sehingga mereka menunda-nunda hukuman untuk pemeran antagonis di sinetronnya. Akibatnya penonton terpaksa harus mengikuti terus serial yang panjang dari sinetron untuk mendapatkan kelegaan.
Mereka yang mampu memaafkan adalah mereka yang memiliki jiwa pengasih dan penyayang. Mereka memahami bahwa kemurkaan akan memiliki efek yang tidak baik.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua. (HR. Tirmidzi)
Hadits di atas, adalah ancaman untuk tidak melakukan perbuatan yang membuat marah orang tua. Hadits ini jika dilihat sekilas lebih tepat untuk ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan sebagai anak. Hadits ini adalah obat untuk para anak dalam berperilaku terhadap orang tuanya.
Meskipun hadits ini adalah ancaman bagi anak, untuk para orang tua yang memiliki karakter penyayang, mereka juga merasakannya sebagai ancaman buat mereka. Mereka sangat tidak ingin anak-anak yang mereka sayangi mendapat murka Allah SWT. Itu sebabnya, ketika anak-anak melakukan kesalahan, mereka menahan murkanya sekuat mungkin agar anak-anak mereka tidak mendapat murka Allah SWT.
Para orang tua yang menyayangi anak-anaknya akan mencari seribu alasan untuk memaafkan dan meredam murkanya kepada anak-anak mereka. Yang keluar dari mulut mereka bukan makian atau sumpah serapah sebagaimana yang diterima oleh Malin Kundang. Yang keluar dari mulut mereka adalah doa untuk kebaikan bagi anak-anak mereka.
Mereka yang memiliki perasaan sayang yang kuat dan mampu menahan marahnya mendapat pujian dan balasan luar biasa dari Allah SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Orang-orang yang kuat di antara kalian adalah orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya ketika marah, dan orang yang paling santun di antara kalian adalah orang yang memaafkan ketika mampu.(HR Ibnu Ad-Dunya)Tidaklah seorang hamba meneguk tegukan yang lebih besar pahalanya daripada seteguk kemarahan yang ditahannya karena mengharapkan keridhaan Allah. (HR Ibnu Majah)
Selain hubungan antara anak dan orang tua, hubungan cinta dan kasih sayang juga sangat diperlukan antara guru dan murid. Jika orang tua memberikan nafkah kepada anak berupa kebutuhan jasmani dan rohani, guru memberikan kepada murid kebutuhan ilmu. Agar ilmunya menjadi berkah perlu ridho seorang guru kepada muridnya.
Jika ilmu tersebut berkah, tentu gurunya juga akan mendapatkan kebaikan karena menjadi amal jariyah yang mengalir. Itu sebabnya guru-guru yang baik akan berusaha mengelola emosinya agar murid-muridnya mendapatkan keberkahan dari ilmu yang mereka dapat. Ketika muridnya menjadi orang yang berguna dan mengajarkan kembali ilmu tersebut ke murid-muridnya, maka bisa dibayangkan keuntungan yang didapatkan oleh para guru yang mampu menahan marahnya.
Gus Baha menceritakan kenangannya terhadap Mbah Maimun Zubair yang merupakan gurunya. Ia mengatakan bahwa Mbah Maimun sangat menyayangi murid-muridnya. Meskipun muridnya ada yang nakal, Mbah Maimun memilih memaafkan agar murid tersebut tetap mau belajar. Wajar jika murid-murid Mbah Maimun banyak yang menjadi ulama.
*Wallahu a'lam bishshowab*
Barakallahu fikk Ustadz
BalasHapusJadi ingat kisah seseorang yang hampir akan dibakar oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam karena ibu kandungnya sendiri tidak ridho kepada anak itu yang sudah sakaratul maut tapi tidak mati-mati. Wallahu alam bisawab