Dalam suatu ceramahnya Gus Baha menceritakan alasan mengapa ia ingin menjadi penghafal Al-Quran. Sebelum membahas alasan Gus Baha, sebagaimana diketahui, menghafal Al-Quran yang tebalnya sekitar enam ratus halaman bukan hal yang mudah. Lebih berat lagi karena cara membaca kitab Al-Quran berbeda dengan cara membaca kitab biasa.
Al-Quran memiliki cara membaca yang khusus. Tidak sama dengan membaca hadits atau kitab-kitab lainnya. Menghafal Al-Quran berarti menghafal cara membaca panjang pendeknya suku kata, dengung atau tidak, melebur atau tidak, sifat hurufnya, letak titik komanya, dan hukum tajwid lainnya. Membacanya saja sudah cukup sulit.
Al-Quran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah SWT sehingga mekanisme penjagaannya berbeda dengan kitab-kitab suci sebelumnya yang telah diturunkan. Tidak akan ada lagi Nabi dan kitab yang akan diturunkan sampai dengan hari kiamat. Allah SWT berfirman terkait Al-Quran:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS.Al-Hijr ayat 9)
Janji untuk memelihara setiap ayat di dalam Al-Quran agar tidak mengalami perubahan satu huruf pun diwujudkan oleh Allah SWT dengan selalu bermunculannya para hafidz (penjaga) Al-Quran. Bayangkan bagaimana perjuangan para hafidz yang berusaha menjaga kemurnian Al-Quran. Banyak yang berguguran dan menghentikan usahanya untuk menghafal Al-Quran. Padahal kata para penjaga Al-Quran, menghafalnya itu relatif mudah jika dibandingkan dengan menjaga hafalannya.
Para Penjaga Al-Quran Telah Mewakafkan Diri Mereka
Para penjaga Al-Quran, telah mewakafkan sebagian usia mereka untuk menjaga keaslian Al-Quran sepanjang hidupnya. Dalam sehari mereka harus memurojaah (membaca hafalannya) sekitar tiga sampai lima juz agar hafalannya bisa terjaga dengan baik. Namun, dengan dasar keikhlasan, mereka mendapat rahmat dan petunjuk melalui Al-Quran sehingga murojaah adalah kenikmatan bagi mereka.
Lalu apa alasan Gus Baha memutuskan untuk menjadi penghafal Al-Quran sebagaimana yang disebutkan di awal tulisan? Gus Baha mengatakan bahwa motivasi terkuat yang membuatnya menjadi penghafal Al-Quran adalah pesan ayahnya.
Ayahnya berpesan bahwa Gus Baha harus menjadi penghafal Al-Quran karena kalau ia tidak menjadi penghafal Al-Quran, maka kelak anaknya memiliki alasan untuk tidak menjadi penghafal Al-Quran. Keluarga Gus Baha memiliki tradisi sebagai penjaga Al-Quran. Ayah dan kakek Gus Baha juga merupakan penjaga Al-Quran. Tentu Gus Baha tidak ingin mata rantai para penjaga Al-Quran terputus di tangannya.
Dengan menjadi penghafal Al-Quran orang tua akan lebih mudah memotivasi dan meyakinkan anaknya bahwa menghafal Al-Quran itu bisa dilakukan. Ia akan bisa menjelaskan cara menghadapi kesulitan menjadi penjaga Al-Quran karena sudah pernah merasakannya. Anak juga akan melihat kebiasaan orang tuanya memegang Al-Quran setiap hari sehingga ia pun terbiasa melakukannya.
Bagaimana dengan para orang tua yang sekarang belum menjadi hafidz Al-Quran? Bagaimana caranya mengawal mereka menjadi hafidz Al-Quran padahal diri sendiri juga belum berhasil menyelesaikan hafalannya?
Penulis pernah ditanya rekan kerja penulis mengenai beberapa anak-anak penulis yang sudah menjadi hafidz Al-Quran. Mungkin ia heran karena kami sama-sama bekerja di instansi pemerintah yang harus pergi pagi pulang petang. Kapan waktu untuk mengawal dan memotivasi anak-anak untuk mengafal Al-Quran? Lagi pula pendidikan yang penulis tempuh adalah sekolah umum dan bukan lulusan pesantren yang memang khusus belajar agama.
Belajar di Istana Layaknya Putra Mahkota
Perjalanan anak-anak penulis menjadi hafidz Al-Quran mungkin mirip dengan cerita dongeng anak petani yang tertukar anak raja. Di dalam kisah tersebut anak petani tertukar dengan anak raja saat mereka masih bayi. Akibatnya adalah anak petani dibesarkan di dalam istana, sedangkan anak raja menjalani hidupnya di pertanian.
Anak petani yang hidup di dalam istana mendapatkan kesempatan pendidikan sebagaimana layaknya para pangeran. Ia hidup di samping raja dan melihat bagaimana raja bersikap, bertindak, dan berperilaku. Sering berdialog dengan raja membuatnya memahami bagaimana mengelola kerajaan.
Raja juga mendatangkan para guru-guru terbaik ke istana untuk mendidik anak petani. Anak petani memiliki pengetahuan sebagaimana negarawan. Ia menguasai berbagai bahasa, memahami administrasi pemerintahan, perekonomian rakyat, bahkan strategi militer untuk mempertahankan negara.
Hidup bersama raja membuat anak petani memiliki kemampuan untuk menjadi raja. Bayangkan seandainya ia hidup bersama ayahnya yang menjadi petani. Kecil kemungkinan ia bisa menguasai ilmu tentang bagaimana mengelola negara.
Kisah anak petani yang tinggal dan dibesarkan oleh raja hanyalah cerita dongeng. Tetapi kejadian yang sama yaitu seorang yang dititipkan untuk belajar sering terjadi. Banyak anak yang dititipkan orang tuanya kepada para ulama sehingga menjadi ulama.
Langkah pertama agar anak-anak menjadi hafidz Al-Quran adalah menemukan raja-raja yang menguasai ilmu Al-Quran. Raja-raja yang menguasai rahasia keindahan bersama Al-Quran. Raja-raja yang merasakan mukjizat Al-Quran dan bisa mewariskan perasaan tersebut.
Ketika anak-anak penulis hidup bersama guru-guru yang merupakan hafidz Al-Quran, mudah buat mereka kemudian menjadi hafidz Al-Quran. Berlatih bersama praktisi akan lebih mudah daripada belajar kepada seseorang yang hanya menguasai teori.
Belajar Lebih Mudah dengan Adanya Hubungan Emosi
Kunci keberhasilan dari menitipkan anak kepada guru adalah anak dan gurunya memiliki kedekatan emosi sebagaimana anak dengan orang tuanya. Seperti cerita anak petani yang dibesarkan raja. Anak petani menganggap raja adalah orangtuanya, demikian juga dengan raja yang merasa bahwa anak petani adalah putranya.
Proses belajar mengajar menjadi mudah jika tercipta kombinasi rasa kasih sayang guru dan rasa hormat murid. Saat orang tua menitipkan anaknya, ia harus menunjukkan rasa hormat kepada guru sehingga anaknya pun akan menghormati gurunya.
Penghormatan orang tua akan menimbulkan kasih kasih sayang guru kepada muridnya. Ia akan menganggap muridnya seperti anaknya sendiri. Guru akan sedih dan terus berusaha mengajar jika muridnya belum memahami pelajaran yang disampaikan.
Seandainya orang tua bersikap seakan-akan guru adalah orang yang bekerja kepada dirinya untuk mengajar anaknya, tentu anak juga memandangnya demikian. Anak melihat guru hanyalah karyawan yang digaji oleh orang tuanya. Ia tidak melihat bahwa pada hakikatnya orang tuanya sedang menitipkannya ke tangan raja.
Ia melihat posisi guru di bawah orang tuanya. Sulit muncul rasa hormat anak kepada gurunya. Apalagi jika ia melihat orang tuanya pernah memarahi gurunya. Pelajaran dari guru akan sulit diserap karena ia merasa bahwa ilmu gurunya masih di bawah ilmu orang tuanya.
Meskipun guru-guru yang mengajar anak-anak penulis usianya lebih muda daripada penulis, penulis berusaha memberikan penghormatan yang terbaik. Pada dasarnya guru memiliki peran yang mirip dengan orang tua. Jika orang tua memberi nafkah berupa makanan, minuman, dan pakaian, sedangkan guru memberikan nafkah berupa ilmu pengetahuan.
Jika ada hal yang tidak menyenangkan yang dirasakan anak kepada gurunya, tentu itu adalah hal yang wajar sebagaimana konsekuensi dari belajar mengajar. Di rumah pun anak juga sering kecewa dengan peraturan yang dibuat oleh orang tua. Apa iya karena ada sedikit hal yang tidak menyenangkan, anak harus pergi dari istana?
Wallahu a'lam bishshowab
Barakallahu fikkum Ustadz
BalasHapus