Ada anekdot tentang guru yang memanggil orang tua siswa ke sekolah. Guru berkata, "Saya rasa anak Bapak perlu didampingi dalam belajar agar tidak tertinggal pelajaran." Ayah siswa yang bekerja sebagai petani bertanya, "Contohnya tertinggal pelajaran seperti apa Bu Guru?" Guru menjawab, "Saya bertanya ke anak Bapak, “Siapakah Einstein?” Dia jawab tidak tahu. Lalu saya tanya, “Siapakah Newton, Archimedes, dan Jengis Khan?”, dia jawab juga tidak kenal."
Rupanya ayah siswa juga tidak mengetahui tokoh-tokoh yang disebutkan oleh guru. Ia bertanya, "Bu Guru kenal dengan pakde Choiru, lik Nanang, atau jeng Astri?" Bu guru yang terkejut dengan pertanyaan tersebut spontan menjawab, "Eh, nggak." Ayah siswa berkata, "Demikian juga dengan anak saya. Dia juga nggak kenal dengan semua orang. Setiap orang punya kenalan masing-masing."
Salah satu tugas orang tua kepada anak adalah menceritakan tokoh-tokoh hebat untuk memberi inspirasi kepada mereka. Tokoh-tokoh yang pantang menyerah atau memiliki karakter mulia yang pantas untuk dijadikan idola. Anak yang memiliki idola secara tidak sadar akan berusaha meniru idolanya.
Sang Legenda Juga Memiliki Idola
Penggemar film kungfu tentu mengenal aktor seni bela diri Bruce Lee. Bruce Lee adalah aktor film, yang kisah kehidupannya beberapa kali dibuat menjadi film. Bruce Lee menjadi inspirasi yang membuat banyak orang ingin berlatih kungfu. Ternyata legenda sehebat Bruce Lee pun memiliki idola.
Tokoh yang membuat Bruce Lee melatih dirinya dengan keras adalah Ghulam Muhammad yang memiliki julukan ‘The Great Gama’. Seorang pegulat dari India yang tidak pernah terkalahkan selama lima puluh tahun. Dalam sehari Ghulam Muhammad mampu push up sebanyak tiga ribu kali dan squat lima ribu kali. Teknik ‘peregangan kucing’ yang dilakukan oleh Ghulam Muhammad diadopsi oleh Bruce Lee.
Tokoh yang menjadi idola dapat memberikan inpirasi meskipun tokoh tersebut fiksi dan tidak nyata. Anak penulis ada yang senang bermain bola. Kemampuannya bermain bolanya cukup baik dan pernah mewakili pertandingan sepak bola antar kabupaten. Salah satu alasannya menyukai bola karena ia pernah menonton serial film Kapten Tsubasa. Serial Kapten Tsubasa ditayangkan perdana pada tahun 1983 di TV Tokyo.
Kisah Kapten Tsubasa yang menjadi kapten tim sepak bola sangat mempengaruhi anak-anak Jepang. Hidetoshi Nakata, pemain bola Jepang yang menjadi legenda bola Jepang juga terinspirasi dari serial Kapten Tsubasa. Generasi seumuran Hidetoshi Nakata yang menonton serial Kapten Tsubasa membuat Jepang menjadi raksasa sepak bola di Asia. Jepang merebut piala sepak bola Asia (AFC) pada tahun 1992 dan sampai sekarang menjadi negara yang terbanyak di Asia yang memperolehnya.
Jepang juga sering mewakili Asia di dalam pentas kejuaraan dunia sepak bola. Pada Piala Dunia 2018, Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) meluncurkan jersey dengan gambar Kapten Tsubasa. Meskipun baju seragam tersebut tidak dipakai Jepang dalam pertandingan resmi karena tidak akan diijinkan oleh FIFA, tetapi itu menjadi gambaran betapa berpengaruhnya serial Kapten Tsubasa.
Film Kapten Tsubasa dapat memberikan inspirasi karena kisahnya dibuat dengan alur cerita yang natural. Dimulai sejak Tsubasa berusia sekolah dasar, film tersebut menceritakan perjuangan Tsubasa melatih kemampuannya. Usaha keras Tsubasa dalam berlatih diceritakan begitu alamiah sehingga anak-anak yang menontonnya merasa mampu untuk menirunya.
Ada orang tua yang menceritakan dongeng-dongeng yang dramatis kepada anak-anaknya untuk menghibur mereka. Dongeng yang penuh dengan keajaiban sehingga anak-anak terpesona. Namun, dongeng yang disampaikan hanyalah untuk menghibur saja tanpa ada tujuan untuk menciptakan idola.
Ada juga dongeng kepahlawanan yang menceritakan jagoan sakti yang membela kaum lemah. Namun, karena ceritanya tidak "membumi", ujung dari cerita juga hanya menjadi hiburan. Mereka menyukai tokoh yang diceritakan tetapi tidak berusaha mengikutinya. Mereka memandangnya sebagai tokoh yang berada di langit (terlalu hebat) yang tidak mampu untuk diikuti.
Dongeng yang bersifat "keberuntungan" juga tidak memberikan motivasi untuk berpikir dan berusaha keras. Biasanya dongeng ini menceritakan seseorang yang bertemu peri sakti atau menemukan benda ajaib yang bisa mengabulkan permintaan. Dongeng yang mudah karena tidak perlu capek membangun logika kenapa tokoh utama menjadi hebat. Namun, cerita "keberuntungan" ini berisiko mengarahkan untuk menjadi pemalas dan pengkhayal yang panjang angan-angan.
Ada juga dongeng-dongeng yang mengajarkan kecerdikan tokoh utamanya. Misalnya dongeng kancil yang ingin menyeberang sungai. Si kancil menjanjikan hadiah kepada para buaya. Ia berpura-pura ingin menghitung jumlah buaya. Kancil meminta para buaya berbaris di sungai dan melompat di atas punggung buaya satu persatu dengan alasan sedang menghitung. Setelah berhasil menyeberang sungai, kancil melarikan diri.
Cerita kancil menipu buaya memang memberikan inspirasi untuk berpikir cerdas. Namun, jika tidak diceritakan dengan hati-hati dan menggunakan prolog dan bahasa yang tepat, cerita ini bisa menimbulkan inspirasi untuk berbuat licik dan menipu orang lain. Orang tua perlu menyimpulkan hikmah di akhir cerita sebagai bimbingan.
Menciptakan idola dengan sosok yang nyata efeknya lebih kuat daripada sosok khayalan. Cerita sosok manusia biasa yang bermodalkan keringat, perasaan, dan pikirannya memudahkan anak-anak untuk meyakini bahwa mereka pun bisa berbuat hal yang sama. Apalagi jika sosok tersebut masih hidup dan ada di sekitar mereka seperti paman, tetangga, atau sahabat orang tuanya.
Menjadi Idola di Dalam Keluarga
Beberapa orang menjadi hebat karena teladan dari ayah mereka. Mereka mengidolakan ayahnya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup. Salah satunya adalah Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Beliau adalah ketua MUI pertama dan juga merupakan mufasir kebanggaan Indonesia. Di dalam salah satu karyanya, Buya HAMKA menuliskan pada halaman pembuka, ucapan terimakasih kepada ayahnya yang telah mengajarkannya agama. Buya HAMKA bahkan menulis buku khusus tentang ayahnya yang berjudul “Ayahku”.
Ketika orang tua menemukan kecenderungan anak kepada hal-hal yang positif, maka kecenderungan tersebut perlu dibina. Langkah pertama adalah dengan menemukannya dengan sosok yang bisa menjadi teladan. Namun, teladan saja belum cukup. Anak perlu diantarkan kepada komunitas yang membangun semangat. Ia juga perlu diberi fasilitas untuk mendorongnya.
Ki Hajar Dewantoro, bapak pendidikan Indonesia, memiliki semboyan ‘Ing ngarso sung tulodho. Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani’. Arti dari semboyan tersebut adalah ‘Di depan memberikan teladan. Di tengah memberikan semangat. Di belakang mengikuti untuk memberikan dorongan’.
Jika anak suka bermain bola maka ia perlu dikenalkan dengan legenda pemain bola untuk teladan baginya. Ia juga perlu dimasukkan ke dalam klub bola agar berada di tengah para pecinta bola. Dari belakang, orang tua harus mengamati dan memberikan fasilitas bermain bola sehingga anak merasa terdorong dan bersemangat.
Sang Legenda Utama
Bagi kaum muslimin, mencari teladan untuk memahami aturan kehidupan tidaklah sulit. Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama untuk mempelajari rambu-rambu kehidupan. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab ayat 21)
Akibat pemahaman tentang kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW yang minim, banyak orang tua yang gagal mengarahkannya sebagai idola anak-anak mereka.
Mereka yang menemukan idola dalam drama/sinetron perebutan warisan, kekuasaan, dan wanita, akan menjadi rapuh. Rapuh dan kehilangan arah. Serapuh idola mereka di dalam drama yang terjatuh dalam minuman keras, tindakan kriminal dan kegagalan rumah tangga.
Wallahu a’lam bisshowab
Posting Komentar