Di dalam ilmu psikologi, ketika seseorang sedang menikmati sesuatu, ia akan berat jika diperintah untuk berhenti secara mendadak. Lebih mudah baginya untuk berhenti jika sebelum berhenti, ia diberi waktu untuk mempersiapkan diri. Secara psikologis, seseorang membutuhkan waktu untuk mempersiapkan perasaannya.
Jika seorang anak sedang main asyik bermain HP, kemudian tanpa peringatan dihentikan dengan cara direbut, ia akan marah karena tidak siap. Tidak siap karena belum memberitahu rekan mainnya bahwa ia akan mundur dari pertandingan. Tidak siap karena bisa jadi posisinya dalam keadaan di atas angin dan hampir memenangkan pertandingan.
Berdasarkan teori di atas, jika penulis ingin menyuruh anak berhenti melakukan sesuatu, biasanya penulis memberi jeda waktu agar anak mempersiapkan diri terlebih dahulu. Saat anak bermain HP, penulis memberi alarm, “Lima belas menit lagi sudah ya.” Saat anak asyik bermain di pantai, penulis akan memberikan informasi, “Setengah jam lagi kita pulang ya.”
Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian
Sebenarnya, tanpa diingatkan batas waktu, jika seseorang sudah mempersiapkan dirinya, ia akan siap untuk berhenti. Demikian juga dengan kematian yang ditakuti oleh banyak orang. Jika seseorang sudah mempersiapkan dirinya untuk “pulang”, ia akan lebih tenang menghadapinya.
Penulis pernah mengantar jenazah ke tempat pemakaman. Putranya mengatakan bahwa kain kafan dan papan yang digunakan untuk menutup liang lahat sudah disiapkan oleh almarhum sejak lama.
Kalimat untuk mengingat kematian banyak tercantum di dalam Al-Quran dan hadits. Allah SWT berfirman:
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. (QS. Ali Imran ayat 185)
Meskipun fenomena kematian sering dilihat, namun tubuh yang sehat dan harta yang banyak sering memperdaya seseorang. Ia mengira bahwa hidupnya masih panjang. Kematian adalah kosa kata yang tidak ada di dalam pikirannya. Allah SWT berfirman bahwa benteng sekuat apapun tidak akan bisa menolak datangnya kematian:
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa ayat 78)
Lari ke manapun, malaikat Izrail akan mampu menjangkau seseorang. Allah SWT berfirman:
Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya pasti akan menemuimu. Kamu kemudian akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan. (QS. Al-Jumuah ayat 8)
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kenikmatan (kematian). (HR. At-Tirmidzy)Barang siapa yang hendak ziarah kubur silahkan, karena ziarah kubur dapat mengingatkan akan akhirat. (HR Muslim)
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan bahwa kematian pasti datang. Seperti seorang pengembara, suatu saat ia harus “pulang” ke rumahnya. Di dalam sebuah hadits diceritakan:
Dari Ibnu Umar RA, dia berkata: “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda: ”Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau pengembara”. Maka Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyatakan: “Jika engkau berada di sore hari janganlah engkau menunggu datangnya esok hari. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menunggu datangnya sore hari. Pergunakanlah masa sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu, dan masa hidupmu untuk menghadapi masa kematianmu.” (HR. Bukhari)
Karakter Orang-Orang Cerdas
Seseorang yang sering mengingat kematian dikategorikan sebagai orang yang cerdas. Segala sesuatu membutuhkan persiapan. Mengingat kematian akan mendorong seseorang untuk mempersiapkan kematiannya. Di dalam sebuah hadits diceritakan:
Abdullah bin Umar RA bercerita, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang lelaki dari kaum Anshar mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, orang beriman manakah yang paling terbaik?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya’, orang ini bertanya lagi, ‘Lalu orang beriman manakah yang paling berakal (cerdas)?’, Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah yang berakal.’” (HR. Ibnu Majah).
Gaya hidup orang yang sering mengingat kematian akan sangat berbeda dengan orang yang lupa dengan kematian. Penulis pernah mendengar cerita seorang yang berhasil mengubah gaya hidup pasangan suami istri saat berada di dalam pesawat. Ia bertanya kepada pasangan yang duduk di sampingnya tersebut dengan sebuah pertanyaan, “Kira-kira kalau kita mati, kita akan berada di mana ya?”
Seseorang bisa berubah menjadi tamak terhadap dunia ketika ia lupa bahwa hidup di dunia hanya sementara. Ia lupa bahwa kampungnya bukan di dunia tetapi di akhirat. Ia mengumpulkan perhiasan dunia sebanyak-banyaknya dan lupa bahwa suatu saat semua perhiasan itu harus ia tinggalkan.
Ibarat seseorang yang merantau dan tinggal di rumah kontrakan. Meskipun saat ini ia tinggal di rumah kontrakan, seharusnya ia mengutamakan untuk memperindah rumahnya di kampung halaman. Rumah kontrakan yang ia tinggal ia perindah sekedarnya saja. Yang penting nyaman untuk dihuni.
Apakah perintah mengingat kematian bertujuan untuk melarang sukses di dunia? Tentu tidak. Kesuksesan dunia justru adalah modal untuk membangun rumah yang indah di akhirat. Siapa bilang anjuran untuk memperindah “rumah miliknya” artinya adalah tidak boleh memperindah “rumah kontrakan”?
Perintah untuk memperindah “rumah miliknya” tidak berarti larangan untuk memperindah “rumah kontrakan”. Hal itu jelas disebutkan dalam ayat Al-Quran berikut:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia (QS. Al-Qashshash ayat 77)
Yang tidak diinginkan adalah menjual “rumah miliknya” dan menggunakan uangnya untuk memperindah “rumah kontrakan”. Seperti orang yang melakukan korupsi untuk mendapatkan kenikmatan dunia. Pada dasarnya ia sedang menghancurkan istananya di akhirat untuk membuat nyaman rumah dunia yang ia pinjam dan kelak harus ia lepaskan.
Mengingat Kematian tidak Menghalangi Kesuksesan Dunia
Mengingat kematian tidak menghalangi seseorang untuk sukses di dunia. Beberapa persiapan menghadapi kematian membutuhkan kesuksesan dunia. Di antaranya adalah pergi haji, membayar zakat, membantu orang miskin, dan lain-lain. Namun, ia juga tahu bahwa semua itu tidak boleh didapatkan dengan mencuri, menipu, atau menjual barang haram. Mengingat kematian membuatnya sadar bahwa kelak ia harus melepaskan dunia dan kembali ke kampung halamannya.
Mengingat kematian juga bukan berarti menganjurkan memilih kematian bagi orang-orang yang sempit kehidupannya. Rasululah SAW menyuruh bersabar kepada orang-orang yang mendapat ujian berat di dunia. Ia tidak boleh mengharapkan kematian. Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Ia harus menyerahkan pilihannya kepada Allah SWT. Rasululullah bersabda:
Janganlah ada orang yang menginginkan mati karena kesusahan yang dideritanya. Apabila harus melakukannya hendaklah dia cukup berkata: “Ya Allah, tetap hidupkan aku selama kehidupan itu baik bagiku dan wafatkanlah aku jika kematian baik untukku.” (HR. Bukhari)
Banyak mengingat kematian justru memberikan daya tahan yang tinggi bagi orang yang hidupnya sempit di dunia. Ia sadar bahwa penderitaannya di dunia hanya sementara dan kesabarannya dijanjikan ganjaran yang besar dari Alllah SWT. Ujian yang ia terima pasti akan berakhir. Dengan pahala kesabaran, ia justru mendapat modal untuk kesuksesan di akhirat.
Wallahu a'lam bishshowab
Posting Komentar