Ada yang bertanya kepada penulis kenapa penulis mudah sekali tidur. Baru sebentar mendarat di atas bantal, sudah take off ke pulau mimpi. Kok gampang banget tidurnya? Kata orang, tidur itu gampang, yang susah itu bangunnya. Sudah mau bangun, nggak kuat, tertidur lagi.
Mungkin yang membuat penulis bisa nyaman tidur dalam kondisi dan lokasi di mana pun karena penulis pernah mengikuti pelatihan survival. Pelatihan untuk bertahan hidup yang akan berguna jika terjadi kecelakaan pesawat atau adanya bencana alam seperti gunung meletus, banjir, atau gempa bumi. Dalam banyak kasus, jika terjadi bencana, banyak yang meninggal karena tidak tahu cara-cara untuk survive.
Di dalam pelatihan survival diajarkan ciri-ciri tanaman yang bisa dimakan dan tanaman yang beracun. Diajarkan cara membuat bivak (tenda darurat), mencari air minum, pencegahan binatang berbahaya, dan lain-lain. Saat pelatihan, penulis merasakan tidur di atas tanah becek maupun di semak belukar. Bahkan penulis sempat merasakan tidur di bawah guyuran hujan karena tidak sempat lagi membuat bivak. Lelah mengerjakan tugas dan berpindah-pindah pos.
Pelatihan survival bisa membuat seseorang bisa tidur di manapun dan kapanpun. Tidur beralaskan mantel hujan di tempat becek yang dingin berembun saja bisa, apalagi tidur di atas kasur yang empuk dan hangat. Tidur di tengah hutan yang gelap dan berisiko digigit binatang berbisa saja bisa, apalagi tidur di kamar yang aman dari bahaya.
Itu baru dalam masalah tidur, dalam pelatihan survival, mau tidak mau penulis harus makan daun-daunan, rayap, dan buah hutan yang rasanya kecut sekali. Bagaimana lagi, panitia hanya membekali botol plastik kosong dan satu kotak korek api. Dari pada tersiksa kelaparan, berusaha memanfaatkan yang ada karena “adanya itu”.
Saat ada ular melintas, salah seorang peserta survival berkata, “Tangkap, tangkap! Itu bisa dimakan.” Memang di dalam madzhab Imam Maliki, ular halal untuk dimakan. Tapi dalam pikiran penulis, “Saya mau kabur karena takut ular, kok malah disuruh menangkap.” Jika salah penanganannya, bukannya berhasil makan ular, nanti malah penulis di makan ular.
Di dalam pelatihan survival, selain latihan berupa petunjuk teknis cara melakukannya, peserta juga dilatih untuk mengelola perasaan agar mampu bertahan. Mengetahui cara mencari makanan penting, tapi semangat untuk mencari makanan juga penting. Meskipun sudah mengetahui cara menangani luka, banyak korban yang meninggal bukan karena luka, tetapi perasaan putus asa yang membunuhnya.
Luka yang dialami memang membuat darah mengalir, namun yang membunuhnya bukan karena kehabisan darah, tetapi perasaan stress yang menghilangkan semangat hidup. Yang membunuhnya bukan karena tidak ada yang dapat dimakan di sekitarnya, tapi lebih karena perasaan sedih sehingga tidak semangat lagi mencari makanan. Perasaan berlebihan mendramatisir suasana sehingga terasa lebih gawat daripada keadaan sebenarnya.
Sebagaimana pelatihan survival yang meliputi petunjuk teknis dan latihan perasan, pelatihan ibadah juga meliputi petunjuk teknis dan latihan perasaan. Saat beribadah, perasaan terlibat aktif di dalam setiap gerakan. Ibadah bisa menjadi kosong jika hanya gerakan dan ucapan saja tanpa disertai perasaan menghamba.
Di dalam ibadah, unsur perasaan sangat penting karena di dalam sebuah hadits, selain melihat amal perbuatan, Allah SWT memperhatikan hati seseorang. Imam Muslim meriwayatkan hadits:
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim)Ada ibadah yang hanya berupa perasaan saja tanpa disertai gerakan atau ucapan. Contohnya adalah perasaan syukur, sabar, mencintai Allah SWT, tawakal, tawadhu, dan lain-lain. Demikian juga dengan dosa. Ada beberapa dosa yang tidak melibatkan gerakan dan ucapan. Di antaranya adalah hasad atau iri dengki.
Meskipun pelakunya secara fisik berdiam diri dan tidak mengisyaratkan apapun, hasad yang ada di dalam hatinya bisa menghapus pahala-pahala ibadahnya. Nabi bersabda:
Jauhkanlah dirimu dari hasad karena sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu-bakar. (HR. Abu Dawud)Dosa perasaan lainnya yang cukup berat adalah sombong. Sombong, yang merupakan salah satu dosa besar, meskipun hanya sebesar biji sawi, bisa menghalangi manusia ke dalam surga. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di dalam hatinya.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya semua orang senang bajunya bagus, sandalnya bagus, (apakah itu kesombongan?)” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. (HR. Muslim)Mengingat betapa pentingnya posisi perasaan dalam ibadah, pelatihan ibadah juga harus meliputi pelatihan terkait perasaan. Mendidik anak untuk mengerjakan sholat tidak cukup dengan hanya menguji benarnya gerakan dan ucapannya saja. Anak juga harus dibimbing terkait apa yang harus ada di dalam hatinya saat sholat.
Ibadah memiliki dua unsur agar dapat terlaksana dengan baik. Yang pertama ia mengenal dan mengetahui Dzat yang disembah. Ini disebut dengan ilmu ma’rifat yang ujungnya adalah perasaan menghamba. Yang kedua adalah bagaimana cara menyembahnya. Ini disebut dengan ilmu syariat berupa cara gerakan dan bacaan.
Bisa saja secara syariat sholat yang dilakukan sah karena sesuai tata caranya, namun belum tentu sholat tersebut secara hakikat diterima oleh Allah SWT. Bisa saja ia sholat dengan riya agar mendapat pujian. Pada hakikatnya ia melakukan sholat bukan karena Allah SWT.
Dahulu para ulama mengajarkan syariat dan tarekat secara bersamaan. Tidak ada pemisahan ilmu dzhahir dan bathin. Namun saat ini, karena keterbatasan ilmu, ada yang hanya fokus mengajarkan syariatnya saja. Ia mengajarkan bacaan dengan sangat detil. Huruf yang dibaca kurang panjang atau tidak tampak sifat hurufnya dapat ia ketahui. Namun, proses tazkiyah untuk membersihkan hati tertinggal di belakang.
Di sisi lain, ada yang fokus mengajak murid-muridnya untuk rutin berdzikir dan berdoa. Majelis yang dibuat lebih banyak melakukan proses pembersihan hati dari pada membahas ilmu syariat. Dengan metode atau tarekat yang disusun berdasarkan ajaran Nabi, ia membawa para muridnya mengenal Allah SWT. Ia bisa membuat khusyuk dan menangis muridnya, namun ia tidak fasih dalam mengajarkan syariat. Sering salah dalam mengutip hadits dan Qur’an.
Belajar syariat dan tarekat sama-sama penting. Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Al Jumu’ah ayat 2)Ayat di atas menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bukan hanya mengajarkan ilmu syariat saja, tetapi juga membersihkan atau mensucikan hati mereka dari kesyirikan dan akhlak yang buruk. Apa gunanya pandai membaca Al-Quran tetapi tidak bersemangat membaca Al-Quran? Buat apa pandai menghitung zakat tetapi tidak ingin membayar zakat?
Wallahu a'lam bishshowab
Barakallahu fikk Ustadz
BalasHapus