Meminta maaf kepada orang yang disakiti adalah syarat dari bertaubat. Namun bagaimana jika orang yang ingin dimintakan maaf atau ridhonya ternyata sudah meninggal atau tidak ditemukan? Salah satu caranya adalah mendoakan kebaikan kepada mereka dan memohon ampunan untuk mereka.
Guru pembimbing penulis pernah mengajarkan proses pembersihan diri untuk meminta maaf. Tahapan awal yang beliau ajarkan adalah dimulai dengan memberi maaf dan mendoakan kepada orang-orang yang telah menyakiti diri.
Sebelum meminta maaf kepada orang disakiti, mulailah dengan memaafkan orang yang menyakiti terlebih dahulu. Bagaimana bisa mengharapkan orang memaafkan, jika diri sendiri pun tidak mau memaafkan orang lain? Ingin diberi tetapi tidak mau memberi.
Akhlak untuk memaafkan orang lain yang menyakiti terlebih dahulu sebelum meminta maaf kepada yang disakiti bisa jadi diambil dari hadits yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW:
Maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah) (HR. At-Thabrani)
Berbuat baik agar mudah mendapatkan kebaikan adalah rumus yang selalu paten. Ketika seseorang memudahkan saudaranya untuk mendapatkan maaf, tentu Allah SWT akan memudahkannya untuk mendapatkan maaf dari orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (HR Muslim)
Memaafkan yang paling utama adalah dengan memberi maaf sebelum orang yang bersalah meminta maaf. Jika meminta maaf dimulai dengan menghubungi orang yang telah disakiti, maka memaafkan tidak perlu menunggu dihubungi. Kapan pun, di mana pun, seseorang bisa memaafkan orang yang bersalah.
Penulis memiliki teman yang dianggap bodoh oleh orang lain karena diam saja saat ditipu. Tidak ada pengaduan atau gugatan yang dilakukan. Sepengetahuan penulis, sebenarnya ia tidak bodoh, namun memiliki hati yang sangat luas sehingga sudah memaafkan pelakunya. Ia bahkan mengatakan kepada penulis bahwa ia kasihan sama pelaku yang telah menipunya.
Meminta maaf adalah hal yang sulit. Ada rasa malu atau khawatir akan direndahkan. Namun, memaafkan juga tidak mudah karena harus menghilangkan perasaan kesal dan kecewa. Bagi yang sudah terbiasa berlatih memaafkan, ini adalah hal yang mudah saja. Bagi yang belum terbiasa, ia harus mencari seribu alasan untuk dapat memaafkan.
Proses memaafkan akan lebih mudah jika didasari dengan prasangka baik. Setiap kesalahan tentu ada latar belakangnya. Mungkin ia tidak sengaja. Mungkin ia terpaksa. Mungkin ia salah faham. Mungkin ia khilaf dan emosi. Tentu banyak kemungkinan yang menjadi sebabnya.
Orang yang telah banyak berbuat dosa dan kesalahan tentu mengharapkan ampunan dari Allah SWT. Di dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman agar manusia bersegera mengejar ampunan Allah SWT. Ciri-ciri orang yang bersegera untuk mendapatkan ampunan salah satunya adalah menahan marah dan memaafkan.
Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (QS. Ali Imran ayat 133- 134)
Di dalam ayat lainnya, perintah untuk memaafkan dan berlapang dada dilanjutkan dengan pertanyaan “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”.Suatu tawaran yang sangat diharapkan oleh semua manusia. Ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. An-Nur ayat 22)
Allah SWT sangat menyukai orang-orang pemaaf. Sebaliknya Allah tidak suka dengan para pembenci. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang menaruh dendam kesumat (bertengkar). (HR Muslim)
Rasa kesal dan jengkel karena konflik adalah hal yang wajar. Namun jika perasaan tersebut terus dipelihara dan berlarut-larut tentu akan membawa kerusakan. Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa rasa kesal tersebut hanya boleh bertahan maksimal tiga hari. Selebihnya mereka harus berdamai dan menyelesaikan masalahnya.
Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam di mana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam. (HR. Muslim)
Perintah agama untuk memaafkan apakah tidak memberi pilihan untuk membalasnya? Di dalam Al-Quran, seseorang boleh untuk mengambil opsi untuk membalas. Tentu saja pembalasannya tidak boleh melebihi kesalahannya. Namun, jika seseorang mengambil opsi untuk memaafkan, sesungguhnya itu lebih menguntungkan baginya. Allah SWT berfirman:
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Asyu-Syura: 40)
Membalas suatu kejahatan memang mengurangi rasa sakit di hati. Namun, membalas membuat hubungan menjadi sulit untuk normal kembali. Selain itu ia tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari rasa sakit yang ada. Jika opsi yang dipilih adalah memaafkan, maka rasa sakit yang pernah ada akan diganti dengan rasa bahagia atas anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. Saat menerima pahala di akhirat karena memaafkan, seseorang akan bersyukur karena telah memilih pilihan memaafkan karena besarnya ganjaran yang diterima.
Anas bin Malik menceritakan bahwa suatu hari Nabi Muhammad SAW mengabarkan bahwa ada orang yang merupakan penduduk surga. Salah seorang sahabat, Abdullah bin Amr bin Ash, merasa penasaran dengan informasi yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ia ingin mengetahui amalan yang membuat orang tersebut menjadi istimewa sehingga Nabi mengabarkan ia akan menjadi penduduk surga.
Abdullah bin Amr bin Ash kemudian meminta ijin untuk tinggal di rumahnya dengan alasan ia sedang mengalami masalah dengan ayahnya. Orang tersebut mengijinkannya. Anas bin Malik berkata, “Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia pun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh.
Setelah lewat tiga hari dan merasa tidak berhasil menemukan keistimewaannya, Abdullah bin Amr kemudian mengatakan kepada pemilik rumah bahwa ia sebenarnya tidak memiliki masalah dengan ayahnya. Ia hanya ingin mengetahui amalan yang istimewa yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah mengabarkannya dengan surga. Abdullah bin Amr kemudian ijin untuk pulang ke rumahnya. Pemilik rumah kemudian memanggilnya.
“...Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepada yang lain.’ Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.” (HR. Ahmad)
Orang tersebut tidak memiliki amalan ibadah yang istimewa. Namun ia memiliki tradisi istimewa yang bagi Abdullah bin Amr sangat berat. Ia memiliki tradisi untuk memaafkan.
Wallahu a'lam bishshowab
Barakallahu fikk Ustadz mohon maaf lahir dan bathin
BalasHapus