Di dalam grup Whatsapp "Berbagi Berita Samarinda", seorang pemilik warung nasi menceritakan peristiwa saat sekelompok relawan pemadam kebakaran memesan makanan di tempatnya. Saat hendak menyuap makanan, tiba-tiba ada info 65 yang artinya telah terjadi kebakaran. Seketika mereka berhambur menuju lokasi kejadian.
Jangankan memakan hidangan yang baru saja dipesan, barang-barang mereka seperti rokok, HP, bahkan helm masih tertinggal di warung. Sambil berlari mereka yang teringat akan barangnya berteriak kepada pemilik warung titip untuk diamankan.
Bagi relawan pemadam kebakaran, perbedaan waktu sedikit saja bisa berakibat fatal. Pepatah mengatakan "waktu adalah uang", tetapi dalam peristiwa kebakaran, waktu adalah kehidupan. Bisa jadi ada nyawa yang tidak sempat diselamatkan. Bisa jadi ada rumah yang ludes terbakar.
Sebagai relawan mereka tidak mendapat bayaran. Mereka bahkan mengeluarkan uang pribadi untuk membeli alat pengaman, alat pemadam, juga harus mengikuti pelatihan-pelatihan memadamkan api. Bahkan ada yang rela memodifikasi motornya, dengan menggunakan pompa sederhana dan selang, untuk bisa menyemprotkan air dari parit atau sumber air terdekat.
Meskipun hanya relawan, mereka tidak berlambat-lambat untuk memadamkan kebakaran. Mereka sudah sering melihat tangisan dan derita korban kebakaran yang membuat mereka tidak mau kehilangan waktu sedetik pun. Semakin lama waktu berjalan, maka kobaran api semakin luas dan membesar.
Meskipun bekerja tanpa pamrih, saat terjadi kebakaran, tidak sedikit relawan yang dibentak, diancam, bahkan dipukul oleh warga. Semua panik. Berebut meminta agar rumah mereka didahulukan untuk disiram. Semua ingin harta dan keluarganya diselamatkan.
Pemilik warung nasi mengatakan bahwa setiap kali dia mendengar ada relawan yang cedera karena dipukul, hatinya sedih. Air susu dibalas dengan air tuba. Ä°ngin menyelamatkan orang lain tetapi dirinya sendiri tidak selamat.
Risiko kecelakaan juga mengancam relawan. Selain menghadapi kobaran api, relawan juga bisa tersetrum listrik yang merambat melalui air yang disemprotkan. Mereka juga rawan terkena ledakan tabung gas atau terjatuh saat menyelamatkan korban yang berada di bangunan bertingkat.
Bagi relawan, melihat korban kebakaran kehilangan harta dan keluarga adalah hal yang menyedihkan. Apalagi menyaksikan rekan sesama relawan yang selama ini berjuang saling bahu membahu, gugur dalam misi penyelamatan. Bagi relawan terlambat bergerak bisa menimbulkan penyesalan.
Setiap relawan memahami risiko yang akan mereka hadapi (baca juga relawan gunung berapi,
https://www.lembarnasihat.com/2022/12/keteguhan-relawan-bencana-merapi.html?m=1 ). Namun, bagi relawan, tidak mungkin mereka duduk berpangku tangan saat ada tangan yang menggapai-gapai meminta pertolongan.
Menjadi relawan adalah suatu kemuliaan. Di segala bidang para relawan memberikan pengorbanan. Mereka turun untuk mengurus anak-anak yatim, mendampingi masyarakat ekonomi bawah, melestarikan alam, dan lain-lain.
Di mana terjadi kerusakan, ringan tangan para relawan hadir untuk memperbaikinya. Di daerah bencana alam, di medan pertempuran, di kawasan endemi penyakit berbahaya, banyak orang yang membutuhkan pertolongan relawan. Mereka yang rela nyawanya terancam dan melakukannya dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
Meskipun relawan adalah hal yang dilakukan dengan sukarela, dalam kasus-kasus tertentu perbuatan menolong adalah kewajiban. Sebenarnya saat seseorang berada di lokasi kejadian, ia tidak boleh berdiam diri dengan berpendapat itu bukan urusannya. Ä°a mengira bahwa membantu hal tersebut adalah suka rela. Padahal itu sudah menjadi kewajibannya.
Salah satu peristiwa yang kadang tidak disadari bahwa di sana dibutuhkan para relawan adalah mencegah perbuatan dosa atau kezhaliman. Sebagian orang mungkin akan bertanya jika mendengar adanya korps relawan jenis ini. "Relawan apaan itu?" Terdengar janggal karena tidak melihat adanya bahaya di situ.
Nabi Muhammad SAW di dalam sebuah hadits menganjurkan untuk menjadi relawan yang membantu orang berbuat zhalim.
"Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi.” Kemudian ada seseorang bertanya tentang bagaimana cara menolong orang yang berbuat zhalim? Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zhalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Jika perbuatan dosa tersebut membawa dampak kerusakan yang besar dan mendesak untuk dihentikan, maka menghentikannya menjadi wajib, bukan lagi pilihan. Semua harus menjadi relawan untuk mencegahnya. Di dalam hadits yang diriwayatkan Ä°mam Muslim disebutkan.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Di dalam suatu ceramah, seorang ustadz mengatakan bahwa jika kita melihat seekor ular yang membahayakan seseorang, pasti kita akan rela memberitahukanya agar tidak celaka. Demikian pula seharusnya jika melihat seseorang berbuat dosa.
Masalahnya terkadang ancaman gigitan ular terasa lebih nyata daripada ancaman akibat perbuatan dosa. Relawan bencana dunia terasa lebih bermakna daripada relawan bencana akhirat. Gigitan ular terasa lebih berbahaya daripada jilatan api neraka.
Bukankah api neraka panasnya berlipat-lipat kali daripada api dunia. Nabi bersabda:
Tetapi sungguh api neraka jahanam 69 kali lebih panas dibandingkan api dunia, yang masing-masing bagian sama panasnya dengan api di dunia.(HR Muslim dan Tirmidzi)Api neraka dinyalakan selama seribu tahun hingga tampak merah. Lalu dinyalakan lagi selama seribu tahun sampai kelihatan putih. Kemudian dinyalakan selama seribu tahun sehingga terlihat hitam. Hingga sekarang neraka itu hitam dan gelap. (HR Tirmidzi).
Menjadi relawan yang menolong para korban bencana alam berat secara fisik tetapi ringan secara psikologis. Para korban yang mendapat pertolongan akan mengucapkan terimakasih dan menunjukkan sikap persahabatan.
Menjadi relawan yang mencegah orang lain berbuat dosa, selain menghadapi risiko fisik, juga mengalami kelelahan secara mental. Mereka yang ditolong untuk berhenti berbuat dosa akan mencemohnya dan marah atas pertolongan yang dilakukan. Bukannya mengucapkan terimakasih, para korban akan menatap dengan tajam dan berkata, "Bukan urusanmu!"
Relawan bencana dunia dan relawan bencana akhirat sama-sama dibutuhkan. Sama-sama membutuhkan keahlian khusus agar dapat memberikan pertolongan yang optimal. Sama-sama membutuhkan hati yang penuh kasih sayang terhadap sesama.
Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi setelah ia merasa sedih karena tidak dapat berbuat apa-apa atas kerusakan masyarakat di sekitarnya. Perjudian, penyembahan berhala, perzinaan, minuman keras, perkelahian terjadi di masyarakat tanpa ia ketahui cara untuk menghentikannya.
Puncak kegelisahannya membuatnya menyendiri merenungkan "bencana" yang menimpa masyarakat kota Mekah. Nabi Muhammad SAW menyendiri di gua Hira selama beberapa lama. Ä°a memikirkan bagaimana caranya agar masyarakat tidak lagi melakukan perbuatan maksiat.
Hingga akhirnya Allah SWT mengutus malaikat Jibril yang menyampaikan pesan bahwa ia telah diangkat menjadi Nabi. Ä°a harus mulai melatih dirinya menjadi "relawan" dengan perintah iqro (bacalah).
Setelah beberapa lama, Nabi Muhammad SAW kemudian mendapat surat tugas sebagai "relawan". Surat yang tercantum dalam surah Al-Mudatsir:
Wahai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan agungkanlah Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji. Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah. (QS. Al-Mudatsir ayat 1-7)
Wallahu a'lam bishshowab
Masya Allah ustadz semoga berkah
BalasHapus