Seseorang pernah bercerita kepada penulis saat orangtuanya meninggal dunia. Saat itu ia harus berpikir keras untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan ia dan neneknya yang masih hidup.
Persediaan beberapa hari masih aman karena banyak tetangganya yang memberi beras sebagai tanda turut berduka. Ia menjual sebagian beras untuk membeli krupuk sebagai lauk makan. Namun, ia harus segera mencari pekerjaan untuk makan di hari-hari selanjutnya.
Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Ia mengerjakan apa saja yang penting dapat uang. Bahkan bekerja membersihkan masjid saja baginya sudah merupakan pekerjaan yang mewah. Bekerja serabutan yang penting ada upahnya untuk makan.
Kesibukannya makin bertambah saat neneknya sakit. Selain repot bekerja, ia juga harus mengurus neneknya yang sakitnya semakin parah sehingga tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Untuk buang hajat saja dalam keadaan berbaring di kasur. Tugasnya bertambah selain mencari nafkah, ia juga harus mengasuh neneknya.
Ia mengatakan bahwa meskipun saat itu hidupnya berat, ia tidak merasa sedih karena tidak ada waktu untuk meratapi nasibnya. Terlalu banyaknya pekerjaan sehingga ia tidak punya waktu bersedih. Mungkin jika ia tidak disibukkan dengan pekerjaan, ia sudah tenggelam dalam kesedihan karena ditinggal orang tuanya.
Kesibukan yang dia alami justru menjadi jalan keluar baginya dari kesedihan. Lebih mudah baginya melewati masa kesedihan karena ia terlalu lelah berpikir dan bekerja sehingga tidak sempat memikirkan atau merasakan kesedihan.
Kesulitan hidup yang dialaminya, secara tidak sengaja telah membuatnya menjalankan salah satu strategi untuk menghadapi suasana yang menyedihkan. Dari pada menderita merasakan kesedihan, mending mencari kesibukan untuk melupakannya.
Gus Baha di dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa jika ia mengalami hal yang tidak enak maka ia segera berusaha membuatnya menjadi nyaman. Ia merasa tidak layak jika menyesali keadaan. Bagaimanapun semua yang dialami adalah ketentuan Allah SWT. Tentu tidak sopan jika kesal dengan skenario yang Allah SWT tentukan. Bagaimanapun nikmat yang sudah diberikan Allah SWT sangat banyak dan tidak dapat dihitung.
Seseorang yang sering merasa kesal lama-lama akan merasa bahwa kehidupan tidak berharga. Ujung-ujungnya ia bisa terjatuh dalam ketidakridhoan terhadap takdir Allah SWT. Hilang rasa syukurnya. Padahal seseorang yang tidak bersyukur terancam dengan ayat berikut:
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim ayat 7)
Daripada terombang-ambing di dalam kesedihan, lebih baik segera mencari kesenangan untuk melupakannya. Ada lagu yang beberapa waktu lalu viral di media sosial. Liriknya sebagai berikut:
Mumet mikir cicilanNgopi, ngopi, MaseMumet mikir tagihanNgopi, ngopi, Mase
Liriknya sederhana, tetapi mengandung filosofi cara untuk melupakan hal-hal yang tidak nyaman. Daripada mumet mikir cicilan dan tagihan, mendingan ngopi.
Jika rasa tidak enak harus segera dilupakan, sebaliknya rasa nyaman harus dinikmati dan disyukuri. Kenikmatan akan menimbulkan rasa syukur sedangkan syukur membuat lebih mudah ridho dengan ketentuan Allah SWT.
Seperti seorang anak yang cinta kepada ibunya, karena begitu banyaknya kebaikan ibu yang dirasakan anak. Begitu pula dengan orang-orang yang mampu merasakan nikmat Allah SWT, akan lebih mudah baginya untuk timbul cinta kepada Allah SWT.
Banyak yang tidak melihat kenikmatan yang ada pada dirinya karena kenikmatan tersebut tersedia dengan melimpah. Mereka “kebal” dari rasa nikmat karena sudah terlalu sering mendapatkannya. Contohnya nikmat dalam hadits berikut:
Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang. (HR. Bukhari)
Nikmat kesehatan dan waktu senggang banyak menipu banyak manusia karena terlalu sering hadir dalam kehidupan. Beberapa di antara tipuannya, yang pertama adalah menganggap itu bukan kenikmatan karena sudah terbiasa terjadi setiap hari sehingga lupa disyukuri.
Tipuan yang kedua adalah sehat dan waktu luang yang “sering didapatkan”, membuat seseorang mengira bahwa ia akan selamanya sehat dan selamanya terus memiliki kesempatan. Oleh karena itu ia tidak berhati-hati untuk menjaga kesehatan dan tidak mempergunakan waktunya dengan baik.
Dua hal tersebut baru disadari sebagai kenikmatan yang harus disyukuri jika telah hilang. Jatuh sakit atau disibukkan dengan urusan yang banyak. Ciri mereka yang tertipu dengan sehat dan waktu senggang kata ulama adalah munculnya rasa malas untuk beramal. Seandainya manusia tahu bahwa dia akan sakit dan kehilangan kesempatan untuk beramal, ia pasti tidak akan bermalas-malasan untuk beramal.
Lalu bagaimana cara agar tidak kebal dari rasa nikmat karena sering mendapatkannya? Tentu saja dengan menghayati nikmat yang dia terima. Berbeda dengan rasa sakit yang harus dilupakan dan jangan dirasakan, rasa nikmat harus dirasakan dengan maksimal.
Pernahkah Anda melihat para penikmat minuman kopi di kafe-kafe? Mereka berusaha menghayati setiap tetes kopi yang mereka minum baik dari aroma, rasa, dan kekentalannya. Itulah sebabnya mereka meminumnya sedikit-demi sedikit agar kenikmatannya lebih terasa.
Jika di dalam gerakan sholat ada tuma’ninah (berdiam sejenak), demikian juga para pecinta kopi dalam meminum kopi. Ada jeda antara satu hirupan dengan hirupan lainnya. Mereka baru menghirup kopi lagi setelah sensasi rasa kopi pada hirupan sebelumnya hilang.
Jika normalnya meminum segelas air biasanya dilakukan dengan lima sampai delapan tegukan, Penikmat kopi bisa membagi satu gelas kopinya menjadi lima belas atau bahkan dua puluh tegukan. Satu cangkir kopi bisa digunakan untuk menemani membaca buku beberapa bab.
Gus Baha mengatakan bahwa Allah SWT senang kepada hamba yang saat makan, setiap satu suapan, ia memuji Allah SWT. Tentu pujian yang dimaksud dilakukan di dalam hati karena mulut sedang mengunyah makanan. Ini adalah prilaku orang yang mampu menghayati dan merasakan nikmat makanan. Betapa banyak orang yang tidak bersyukur dan tidak mampu melihat bahwa makan adalah suatu kenikmatan.
Jika seorang mampu mengaktifkan rasa nyamannya dari kegiatan makan, maka betapa banyak pahalanya dari makan saja. Bisa jadi pahala satu piring makanan yang ia makan, mampu mengalahkan sedekah yang dilakukan orang lain yang disertai perasaan kesal dan tidak suka.
Banyak sekali kegiatan yang sebenarnya merupakan suatu kenikmatan selain makan. Berkumpul bersama keluarga, berolah raga, belanja di mall, dan membaca buku adalah contoh kegiatan yang bisa dihayati kenikmatannya. Bahkan jika tidak ada kegiatan sekali, maka nikmat beriman kepada Allah SWT, bernafas, melihat, mendengar, yang selalu tersedia setiap saat bisa menjadi sarana untuk bersyukur.
Orang yang pandai bersyukur sesungguhnya adalah orang yang pandai menikmati hidup. Ia berusaha dalam keadaan nyaman sehingga waktu demi waktu yang ia jalani adalah rentetan dari momen-momen yang indah. Hidup akan menjadi lebih bahagia. Rantai perjalanan hidupnya tersusun dari mata rantai kebahagian.
Wallahu a'lam bishshowab
Posting Komentar