Bangsa Indonesia selalu memperingati peristiwa berkumpulnya para pemuda yang berasal dari berbagai suku di Nusantara pada tanggal 28 Oktober 1928. Mereka berikrar untuk mengikat tali persaudaraan. Kesamaan nasib selama ratusan tahun di jajah Belanda membuat suku-suku di Nusantara menyatukan kekuatan berkolaborasi menjadi bangsa Indonesia. Langkah yang tepat, hanya butuh waktu tujuh belas tahun setelah peristiwa Sumpah Pemuda, bangsa Indonesia merdeka. Belanda tidak sanggup lagi menduduki wilayah Indonesia.
Persatuan adalah kunci dari kekuatan. Namun, bersatu bukanlah hal yang mudah. Perlu toleransi dan saling mengalah. Bayangkan suasana menjelang Sumpah Pemuda. Suku Jawa yang mayoritas mengalah ketika bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu bukan bahasa Jawa. Bayangkan betapa beratnya para sultan dan raja di Nusantara harus melepas tahta dan jabatannya dan menjadi rakyat biasa di negeri Indonesia. Mereka rela kehilangan tahta dan jabatan sebagai raja untuk membentuk bangsa yang besar dan kuat.
Pada bulan Februari 2024, bangsa Indonesia akan mengadakan pesta pemilihan presiden dan anggota legislatif. Ironisnya pilpres dan pileg yang seharusnya merupakan pesta rakyat justru menimbulkan perselisihan di sebagian orang. Media sosial dipenuhi dengan serangan terhadap calon-calon yang bukan pilihannya. Bahkan di grup-grup whatsapp keluarga yang terikat hubungan saudara sedarah sekalipun, tidak lepas dari perselisihan.
Persaingan dalam pemilu adalah hal yang normal. Namun, jika pemilihan telah selesai tetapi perselisihan terus berlanjut, ini yang tidak sehat. Maunya menang tetapi tidak siap kalah. Seharusnya setelah pemilihan usai, yang menang maupun yang kalah sama-sama berkomitmen memberikan yang terbaik untuk bangsa. Sebagaimana semangat Sumpah Pemuda yang telah berikrar untuk menjadi saudara se-bangsa dan se-tanah air, pemilihan presiden tidak boleh mengakibatkan hilangnya rasa persaudaraan.
Demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa, pemimpin yang terpilih harus didukung untuk memudahkannya menciptakan kesejahteraan. Fudhail bin Iyadh berkata “Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab (yang dikabulkan), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.” Seseorang bertanya kepada Fudhail alasan mengapa ia lebih mengutamakan menggunakan doa untuk pemimpin daripada doa untuk dirinya sendiri. Fudhail menjawab “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.”
Siapapun yang terpilih sebagai pemimpin, maka ialah yang memegang kendali untuk mengelola negara. Jika ia baik, maka baiklah kondisi negara. Bayangkan jika ratusan juta rakyatnya sepakat untuk mendoakannya. Mudah saja bagi Allah SWT memberikan hidayah dan taufik sehingga merubah pemimpin yang dzhalim menjadi adil.
Sebaliknya, bayangkan jika rakyat memilih untuk terus melaknat dan mendoakan keburukan bagi pemimpinnya. Wajar saja jika pemimpinnya berubah menjadi zhalim dan tamak. Pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi rakyat, berubah menjadi musuh rakyat karena melihat rakyat terus mengganggunya. Bisa jadi kezhaliman tersebut justru dipicu oleh rakyatnya sendiri yang selalu menyerangnya.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. (HR. Imam Muslim).
Saat pemimpin sudah terpilih, maka hanya ada dua pilihan, membantunya mengelola negara atau mengganggunya selama masa jabatan yang ada. Jika memilih untuk mengganggunya, maka bisa dipastikan pemimpin terpilih tidak akan bisa mengelola negara dengan baik. Akibatnya kesejahteraan untuk rakyat tidak maksimal didapatkan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Barangsiapa memuliakan pemimpin di dunia, maka Allah akan memuliakannya di akhirat. Namun barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat. (HR. Al-Turmidzi)
Di dalam sebuah hadits diceritakan seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang apa yang harus ia lakukan jika dipimpin oleh orang yang tidak adil.
Salamah binti Yazid Al Ju'fi bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat di atas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah anda memerintahkan pada kami?” Pada mulanya beliau mengabaikan pertanyaan itu, hingga beliau ditanya yang kedua kalinya atau ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menarik Al Asy'ats bin Qois dan bersabda: “Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka sesungguhnya di atas mereka ada tanggung jawab/kewajiban atas mereka sendiri dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri." (HR Muslim)
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin (Ulil Amri) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An Nisa' ayat 59)
Terkadang ada yang mengira pemimpin berbuat zhalim karena mencabut subsidi atau menaikan harga barang. Padahal bisa saja kondisi tersebut dilakukan karena terpaksa. Bisa jadi subsidi yang dicabut dialihkan untuk mensubsidi program lain yang lebih mendesak. Itu adalah hak pemimpin untuk menentukan mana yang lebih mendesak untuk disubsidi. Apakah pupuk untuk petani, bantuan untuk orang miskin, subsidi BBM, atau bantuan biaya pengobatan yang lebih mendesak? Tentu saja perumusan kebijakan ini perlu pengkajian yang lebih dalam.
Lalu bagaimana jika pemimpin membuat program yang jelas-jelas merupakan perbuatan maksiat dan mungkar? Nabi Muhammad SAW bersabda:
Patuh dan taat itu (pada pemimpin) adalah wajib bagi seseorang dalam hal apa yang ia suka atau benci, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah maksiat, maka tidak wajib patuh dan taat. (HR Bukhari)
Menasihati pemimpin yang melakukan penyimpangan merupakan perbuatan yang membantunya. Tentu saja nasihat yang dilakukan harus sopan dan tidak berusaha menghancurkan kehormatan pemimpin di hadapan rakyat.
Kalah dalam berkompetisi di dalam Pemilihan Umum adalah hal yang berat. Mengambil sikap mengakui kekalahan dan membantu yang menang adalah hal yang lebih berat lagi. Namun, itu adalah hal yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang ikhlas dan jujur dengan tujuannya berkompetisi. Jika ia memang bertujuan memajukan negara, ketika kalah, ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya membantu pemenang memajukan bangsa. Ia akan memilih bekerja keras untuk negara daripada sibuk berusaha menjatuhkan lawan tandingnya.
Membantu pemenang tidak berarti harus bergabung dan menjadi bagian dari pemenang. Menjadi oposisi juga merupakan salah satu pilihan. Menjadi oposisi yang adil yang sibuk memberikan masukan. Bukan sibuk mencela dan mencari-cari kesalahan.
Sudah siap mengikuti pesta rakyat dalam Pemilihan Umum? Angkatlah tanganmu untuk mendoakan siapapun yang terpilih menjadi pemimpin. Jabat erat tangannya dan katakan, “Saya siap membantu Anda.”
*Wallahu a'lam bishshowab*
Barakallahu fikk Ustadz
BalasHapus