UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Tinggal Klik

   


Saat HP belum secanggih sekarang, penulis harus membawa buku-buku yang ingin dibaca jika bepergian ke luar kota. Untuk buku-buku novel dan sejenisnya tidak ada masalah. Yang sering membuat penulis harus memberi perhatian khusu adalah kitab Al-Quran yang secara aturan tidak boleh dibawa sembarangan.

Al-Quran adalah salah satu kitab suci yang secara aturan fikih tidak boleh dibawa masuk ke dalam toilet. Di terminal atau tempat pemberhentian perjalanan, sebelum memasuki toilet, penulis meletakkan Al-Quran di meja atau rak. Akibatnya penulis beberapa kali kehilangan Al-Quran karena lupa mengambilnya kembali.

Saat ini Al-Quran sudah tersedia dalam bentuk digital yang terinstal di HP. Para ulama mengatakan bahwa jika aplikasi Al-Qurannya tidak sedang dibuka, maka tidak mengapa HPnya dibawa ke toilet. Pada dasarnya, saat HP dalam keadaan mati, ia hanyalah benda berupa plastik dan logam dan belum membentuk ayat-ayat Al-Quran. Oleh karenanya para ulama memperbolehkan membawa HP ke dalam toilet jika tidak sedang membuka aplikasi Al-Quran.

Kemajuan Teknologi Memudahkan Bersama Al-Quran

Perkembangan zaman membuat proses mendapatkan Al-Quran menjadi lebih mudah. Betapa beruntungnya manusia akhir zaman yang menikmati kemajuan teknologi. Saat ini seseorang bisa membaca kitab suci setiap saat. Namun, terbayangkah betapa sulitnya manusia di zaman dulu mendapatan kesempatan membaca kitab suci? Mendapatkan akses untuk membaca Al-Quran saja merupakan perjuangan yang luar biasa.

Al-Quran diturunkan di jazirah Arab yang sebagian besar penduduknya buta huruf. Hanya sedikit yang bisa membaca dan menulis. Meskipun ada yang menuliskannya di pelepah kurma atau kulit binatang, sebagian besar penjagaan Al-Quran dilakukan dengan cara dihafal. Seorang murid menerima bacaan Al-Quran dari gurunya. Bayangkan betapa repotnya para sahabat zaman dulu yang sebagian besar tidak dapat menulis dan membaca untuk memiliki Al-Quran. Mereka tidak bisa menyimpan Al-Quran di kertas. Mereka harus menyimpannya di dalam kepala dan dada mereka.

Untuk mendapatkan bacaan Al-Quran pun tidak bisa kepada sembarang orang. Mereka harus mengambil bacaan Al-Quran dari guru tertentu. Dan guru tersebut harus tersambung sanadnya dengan guru sebelumnya yang terus tersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak semua orang mempunyai kualifikasi untuk meriwayatkan Al-Quran. Ini tergambar dari ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkata:
Ambillah Al-Qur`an dari empat orang: Abdullâh bin Mas’ud, Salim maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal. (HR Bukhari)
Sebagaimana perawi hadits yang harus teruji kekuatan hafalan dan sifatnya yang adil, serta bersambung riwayatnya sampai Nabi Muhammad SAW, penyampai Al-Quran pun memiliki syarat yang telah ditentukan. Bahkan syaratnya lebih ketat daripada penyampai hadits.

Bacaan Al-Quran diturunkan secara talaqi. Dimulai dari murid mendengar bacaan Al-Quran dari gurunya. Murid kemudian mulai menghafal dan menyetorkan hafalannya kepada gurunya. Hafalannya diuji dari titik, koma, sifat huruf, panjang pendek, dan lain-lain. Jika saat ini terdengar ada yang salah dalam membaca Al-Quran, kemungkinan terbesar ia belajar membaca Al-Quran secara mandiri lewat buku atau belajar dari guru yang sebenarnya tidak memiliki sertifikasi untuk mengajar.

Sejarah Pengumpulan Al-Quran

Al-Quran mulai dikumpulkan dalam satu buku di masa Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq yang menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Para penghafal Al-Quran berkumpul dengan dipimpin Zaid bis Tsabit menulis Al-Quran. Ayat demi ayat ditulis setelah dicocokan dengan hafalan para hafidz dan tulisan-tulisan Al-Quran yang di tulis di pelepah kurma, kulit, binatang, batu dan kayu.

Al-Quran telah dibukukan. Namun, karena teknologi percetakan belum ditemukan, tetap saja untuk mendapatkannya bukanlah hal yang gampang. Untuk memiliki Al-Quran, seseorang harus menyalinnya lebih dahulu. Betapa mahalnya harga satu kitab Al-Quran.

Salah satu penjagaan kemurnian Al-Quran adalah, ia tidak boleh ditulis dalam bahasa terjemahan tanpa disertai tulisan dalam bentuk bahasa aslinya. Meskipun diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, dan lain-lain, bacaan dalam bahasa Arab yang ditulis dengan huruf Arab harus disertakan untuk menjamin tidak ada perubahan satu huruf pun.

Penterjemahan secara keseluruhan tanpa disertai teks aslinya akan rawan menyebabkan pergeseran arti. Bayangkan jika Al-Quran diterjemahkan dalam bahasa Jepang, ternyata penterjemahnya tidak begitu menguasai bahasa Arab, tentu keaslian Al-Quran menjadi pertanyaan. Bisa jadi terjemahannya tidak tepat. Al-Quran yang dibaca bukan lagi sesuai dengan versi Nabi Muhammad SAW, tetapi versi penterjemahnya.

Jika tulisan Arabnya disertakan di samping terjemahnya, meskipun terjadi kesalahan terjemah, itu hanya bersifat sementara. Saat orang Jepang sudah banyak yang pandai berbahasa Arab, kesalahan tersebut bisa dikoreksi.

Sulitnya Mendapatkan Al-Quran Terjemah pada Zaman Dahulu

Keharusan meriwayatkan Al-Quran dalam bahasa asli ini menyebabkan RA. Kartini tidak sempat mempelajari Al-Quran seutuhnya. Saat itu belum ada Al-Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Semua dituliskan dalam bahasa Arab.

Kartini mendengar Al-Quran diterjemahkan dalam bahasa Jawa saat menghadiri acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Kisah ini didapatkan dari Fadhila Sholeh yang merupakan keturunan dari Kyai Sholeh Darat. Kartini tertegun dengan keindahan arti surah Al-Fatihah yang diuraikan oleh Kyai Sholeh Darat. Setelah pengajian, Kartini dengan ditemani pamannya menemui Kyai Sholeh Darat dan meminta Beliau untuk menterjemahkan Al-Quran.

Semula Kiai Sholeh Darat merasa berat. Ia takut membuat kesalahan dalam menterjemahkan Al-Quran. Kartini terus mendesaknya dan berkata, “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku.”

Akhirnya Kyai Sholeh berusaha menterjemahkan AL-Quran dalam bahasa Jawa. Beliau menterjemahkan juz satu sampai juz tiga belas dan menghadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan Bupati Rembang yang bernama RM Joyodiningrat.

Kartini begitu bahagia. Ia berkata, “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Kartini begitu terkesan dengan surah Al-Baqarah ayat 257 yang menyatakan “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman)…” Kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” sering Kartini pakai saat ia mengirim surat kepada sahabatnya Abendanon. Itulah yang membuat kumpulan surat-surat Kartini kemudian disebut dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Sayangnya usia Kartini tidaklah panjang. Setahun setelah menikah, di usianya yang ke-25 tahun ia wafat. Ia belum sempat membaca Al-Quran yang diterjemahkan secara keseluruhan. Meskipun usianya pendek, ia merupakan simbol dari emansipasi wanita. Ia merupakan tokoh yang menjadi contoh perlunya kesetaraan pendidikan antara pria dan wanita.

Kini terjemah Al-Quran bisa didapatkan dengan mudah. Jika Kartini baru mendapatkan terjemah Al-Quran sebanyak tiga belas juz saja sudah begitu bahagia, kini Al-Quran telah diterjemahkan tiga puluh juz secara keseluruhan dalam berbagai bahasa. Cukup mengklik nomor ayat di dalam aplikasi HP, terjemahnya bisa didapatkan. Tinggal klik, masih juga malas membacanya?

Wallahu a'lam bishshowab

1 komentar

Translate