Saat anak penulis masih kecil, ia takut pergi ke dapur. Ia mengatakan bahwa ia takut ada hantu. Semenjak menonton film horor, ia jadi membayangkan adanya hantu di tempat-tempat yang sepi. Sudah takut, masih ditambah kakaknya yang senang menakutinya. Akibatnya penulis jadi repot menemaninya untuk pergi ke dapur.
Takut membuat manusia menjadi tidak produktif. Takut menghabiskan energi yang membuat tubuh lelah. Selain mengurangi produktifitas, takut juga bisa membuat orang melakukan hal yang negatif. Contohnya adalah takut akan kemiskinan. Di dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 268 disebutkan bahwa setan membisikkan perasaan ketakutan akan kemiskinan agar manusia berbuat jahat. Manusia melakukan korupsi, mencuri, atau merampok salah satu sebabnya adalah mereka takut kekurangan harta di masa depan.
Rasa takut adalah kecemasan akan terjadinya sesuatu di masa yang akan datang. Perasaan takut dimulai dengan membayangkan adanya musibah yang akan menimpa. Bagaimana nanti jika perusahaan tempat bekerja bangkrut? Bagaimana jika tertular penyakit berbahaya yang mematikan? Bagaimana kalau ada musibah kebakaran dan bencana alam lainnya? Bagaimana kalau di halaman tiba-tiba muncul ular yang berbahaya?
Lalu apakah seseorang tidak boleh memprediksi atau memperkirakan musibah? Tentu melakukan pencegahan adalah hal yang perlu dilakukan. Memitigasi risiko adalah ikhtiar yang diperintahkan. Setelah langkah-langkah pencegahan dilakukan, hilangkan bayangan-bayangan negatif yang muncul. Toh yang ditakutkan belum tentu terjadi. Bisa jadi asumsi-asumsi yang diramalkan salah, dan semua yang ditakutkan tidak terjadi.
Ada kisah sekelompok tentara yang sedang berjaga di parit-parit pertempuran. Beberapa tentara terlihat santai bahkan ada yang meminta kopi kepada tentara lainnya. Ketika ditanya, kenapa masih sempat asyik minum kopi di dalam suasana perang yang tengah berkecamuk. Ia mengatakan bahwa setiap peluru itu sudah ada namanya. Meskipun ribuan peluru berterbangan, jika nama tentara tersebut di dalam takdir tidak tertulis di antara ribuan peluru tersebut, maka ia akan selamat. Sebaliknya meskipun peluru tersebut ada di dalam senjata yang ia genggam, jika sudah merupakan takdirnya, peluru tersebut bisa membunuhnya.
Rahasia takdir memang merupakan misteri. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, menjadi takut atau tidak adalah pilihan. Jika seorang tentara memilih membayangkan bahwa peluru pasti akan mengenainya, ia akan ketakutan. Jika ia memilih membayangkan tidak ada satu peluru pun yang akan mengenainya maka ia tidak merasa takut. Walaupun demikian ia tetap harus bersembunyi untuk menghindari peluru.
Memilih membayangkan apa yang akan terjadi, tidak akan berpengaruh terhadap ketentuan takdir. Jika seseorang ditakdirkan terkena peluru, maka sama saja baginya apakah memilih membayangkan terkena peluru atau membayangkan selamat, ia akan tetap ditembus peluru sesuai takdirnya. Jika pilihan dalam membayangkan ini tidak merubah takdir, buat apa memikirkan yang menakutkan? Lebih baik memilih bayangan yang lebih nyaman agar tidak dihantui kecemasan.
Seorang ustadz pernah bercerita tentang musibah yang dialami seseorang di lapangan golf. Orang tersebut terkena bola golf yang mendarat di dahinya. Betapa apesnya dia. Bayangkan lapangan golf seluas itu, kenapa bolanya justru jatuh di dahinya yang sempit. Luas dahinya mungkin hanya satu per sepuluh juta dari luas lapangan golf. Kenapa bola golf tersebut jatuh di dahinya? Tidak jatuh di danau, pohon, semak-semak, atau bukit yang ada di lapangan golf tersebut?
Jatuhnya bola golf di dahi menunjukkan bahwa takdir adalah sesuatu yang ditentukan oleh Allah SWT. Meskipun prosentase kemungkinannya kecil, jika ditakdirkan ia akan tetap terjadi. Sebaliknya meskipun porsentasenya besar, jika tidak dikehendaki oleh Allah SWT, ia tidak akan terjadi. Sebagaimana kisah-kisah orang yang selamat di tengah hujan peluru. Secara rasio, kemungkinan selamatnya kecil melewati ribuan peluru yang berterbangan, tetapi takdir membuat ia selamat.
Nabi Muhammad SAW penah bersabda kepada Ibnu Abbas berkaitan dengan takdir.
Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda. Sesungguhnya aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau mau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau mau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah apabila semua umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka pun berkumpul untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena-pena (pencatat takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering.” (HR. Tirmidzi)
Meskipun seluruh manusia berkumpul untuk mencelakakan seseorang, jika Allah SWT tidak menghendaki, maka orang tersebut akan selamat. Sebesar apapun prosentasenya, tetap saja bisa gagal. Lalu buat apa memilih membayangkan hal yang menakutkan? Toh bisa saja itu tidak terjadi meskipun kecil kemungkinannya.
Saat pandemi corona, ada yang dilanda ketakutan yang luar biasa, tetapi ada juga orang yang menganggap corona seperti penyakit flu biasa. Para ahli menjelaskan bahwa rasa takut yang berlebihan dengan corona justru menurunkan imunitas tubuh dan membuatnya rentan terhadap penyakit. Sebenarnya tubuhnya mampu melawan virus corona, namun perasaan takut membuat tubuhnya lemah. Akibatnya semakin mudah virus corona mengalahkan perlawanan tubuhnya. Jika membayangkan terkena corona justru membuat risikonya lebih tinggi, mengapa tidak memilih membayangkan tidak terkena saja?
Para kekasih Allah SWT memiliki kemampuan untuk mengelola rasa takut dengan baik. Itu sebabnya mereka digambarkan di dalam Al-Quran sebagai berikut:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus ayat 62)
Kenapa para wali bisa meminimalisir rasa takut? Biasanya para kekasih Allah SWT sudah sangat kuat keyakinannya akan takdir. Mereka juga meyakini bahwa semua tidak akan bisa melawan takdir. Itu yang membuat mereka lebih siap untuk menerima takdir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang percaya Tuhan lebih mampu bertahan dalam kehidupan daripada orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Mereka yang percaya bahwa Tuhan mampu menyelesaikan semua masalah memiliki optimisme hidup yang lebih tinggi.
Ketika menghadapi masalah yang sulit diatasi, mereka yang tidak mempercayai Tuhan akan kehilangan harapan. Ketika mereka mengandalkan akal mereka yang terbatas, mereka tidak berhasil menemukan logika bahwa masalah itu bisa diselesaikan. Orang yang beriman memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun prosentasenya, harapan itu tetap ada. Mereka mengetahui bahwa Allah Maha Besar dan mampu menyelesaikan semua masalah meskipun mereka tidak bisa menemukan jawabannya secara logika.
Konon Gus Dur (mantan Presiden RI) pernah ditanya oleh seseorang tentang kunci bahagia. Gus Dur berkata, “Jangan memikirkan apa yang kamu tidak tahu." Penanya kemudian melanjutkan pertanyaannya, “Kalau yang diketahui Gus?" Gus Dur dengan bercanda berkata, “Lha, kalau sudah tahu, ngapain dipikir?" Betul juga, buat apa kita memikirkan hal-hal menakutkan di masa depan. Toh kita tidak tahu apa yang terjadi. Gitu aja kok repot.
Wallahu a’lam bishshowab.
Simple tapi menguatkan jiwa jangan kawatir dg apa yg akan terjadi. Mau bereaksi positif atau negatif toh hasilnya sama saja. Lebih baik mempersiapkan diri yg terbaik supaya pahala yg mengalir terus ya ustadz
BalasHapusMasya Allah, menebalkan iman akan qoda dan qodhar Allah SWT🫶 jazakallah khair🙏
BalasHapus