Suatu hari penulis mengerjakan sholat dhuha di masjid yang memiliki pesantren. Selesai sholat, penulis mendengar seorang santri berbincang santai dengan ustadznya di dalam masjid di sela-sela setoran hafalan Quran. Santri bertanya, "Ustadz, ujian nahwunya lisan atau menulis?"
Ustadz menjawab, "Menulis, jumlah soalnya cuma satu." Mendengar jumlah soalnya hanya satu, tentu santri yang bertanya merasa girang. Ia bisa dengan cepat menyelesaikan ujian. Waktu yang tersisa sebelum jam pelajaran berikutnya bisa digunakan untuk bermain-main.
Ustadz berkata, "Soalnya cuma satu yaitu tuliskan pelajaran yang sudah ustadz ajarkan." Mendengar soal ujian yang akan dikeluarkan, santri mengeluh, "Waaah, banyak sekali itu ustadz." Meskipun soalnya cuma satu, mengerjakannya bisa menghabiskan waktu dua jam.
Entah, apakah ustadznya bercanda atau serius, tetapi teknik yang dilakukan ustadz adalah teknik yang cerdas. Daripada ia repot membuat soal yang banyak, ia membuat satu soal namun bisa digunakan untuk mengevaluasi secara keseluruhan.
Manusia yang cerdas adalah orang yang bisa mengerjakan sedikit pekerjaan, namun mendapatkan hasil yang banyak. Mereka membuat orang terheran-heran dengan output yang banyak, meskipun terlihat tidak sibuk sama sekali.
Manusia-manusia cerdas ini seperti memiliki waktu lebih dari dua puluh empat jam dalam sehari. Lihatlah Imam Nawawi yang wafat di usia empat puluhan. Umurnya tidak panjang tetapi menghasilkan enam ratus kitab selama hidupnya. Padahal Imam Nawawi baru menulis di usia dua puluh lima tahun.
Meskipun menulis banyak kitab, karya-karya Imam Nawawi bukan karya yang ecek-ecek. Tulisannya sangat berkualitas dan menjadi rujukan sampai saat ini. Sebutlah kitab Riyadhush Solihin, Nashoihul Ibad, dan Syarah Muslim (Minhaj). Melihat karyanya yang luar biasa secara kuantitas dan kualitas, banyak orang yang berpikir, berapa jam ia tidur dalam sehari.
Imam Nawawi tentu bekerja dengan cerdas. Salah satu kerja cerdas yang telah ia lakukan adalah ia telah menghafal Al-Quran dan ribuan hadits yang akan menjadi referensi tulisan-tulisannya. Saat menulis, tidak perlu lagi Imam Nawawi membuka-buka kitab untuk mencari hadits atau ayat. Semua sudah ada di dalam kepalanya.
Imam Nawawi dan para ulama yang telah hafal Al-Quran dan ribuan hadits bagaikan Google, tidak perlu membuka setiap halaman di kitab hadits dan Al-Quran untuk menulis atau merumuskan masalah. Mereka telah menghafalnya dengan sangat kuat sehingga tidak perlu menghabiskan waktu mencarinya lagi. Untuk apa mengulang-ulang pekerjaan jika bisa dikelola agar tidak perlu dilakukan lagi?
Teknik tidak mengulang kembali pekerjaan membuat ojek online bisa mengalahkan ojek pangkalan. Ojek pangkalan selesai mengantar penumpang, harus kembali ke pangkalan untuk menunggu penumpang berikutnya. Ia mengulangi pekerjaan dengan menyusuri jalan yang telah ia lalui saat mengantar penumpang pertama.
Bagi ojek online, di ujung tempat ia mengantar penumpang, di situlah ia menjemput penumpang yang baru. Ia tidak perlu kembali ke pangkalan. ia akan mencari penumpang di tempat ia menurunkan penumpang. Saat mengantarkan penumpang pertama, secara simultan ia sedang menjemput penumpang kedua.
Keunggulan aplikasi membuat ojek online tidak mengulangi pekerjaan yang telah ia lakukan. Setelah mengantar penumpang dari titik A ke titik B, dengan bantuan aplikasi, ia akan mencari penumpang yang akan pergi dari titik B ke titik A.
Ojek pangkalan yang tidak memiliki aplikasi terpaksa harus kembali ke pangkalan untuk mendapatkan penumpang. Perjalanannya dari titik A ke B lalu kembali ke A hanya mendapatkan satu penumpang. Bagi ojek online, dengan jarak yang sama, ia telah membawa dua penumpang.
Prinsip tidak boleh mengulangi pekerjaan ini juga dipakai oleh para penghafal Al-Quran yang cerdas. Salah satu bisikan setan kepada para penghafal Al-Quran adalah segera berpindah ke ayat atau halaman baru. Padahal hafalan lama belum terlalu kuat. Setan menggodanya untuk segera menyelesaikan hafalan Al-Quran.
Para penghafal Al-Quran yang cerdas tidak mau mengikuti bisikan setan. Mereka memilih menguatkan hafalannya lebih dahulu daripada menghafal halaman baru. Mereka tidak ingin lelah mengulang kembali menghafal disebabkan hilangnya hafalan.
Salah satu teknik menguji apakah hafalan suatu halaman Quran sudah terkunci dengan kuat atau belum adalah dengan membacanya sepuluh kali berturut-turut tanpa melihat Al-Quran tanpa salah. Jika mampu dilakukan berarti hafalan pada halaman tersebut sudah sangat kuat. Teknik membaca tanpa melihat sebanyak sepuluh kali adalah proses penguncian hafalan. Ketika hafalan sudah terkunci, seandainya hilang, hanya butuh beberapa menit untuk mengembalikannya.
Salah satu yang menarik saat Imam Nawawi wafat adalah ada beberapa kitab yang belum selesai ia tulis. Di antaranya adalah kitab syarah hadits Bukhori. Entah bagaimana cara beliau dalam menulis. Namun, dari peristiwa ini, ada kemungkinan Imam Nawawi bekerja secara simultan. Ia berpikir untuk beberapa kitab sekaligus sehingga dalam waktu yang bersamaan ia telah menyelesaikan beberapa kitab. Bekerja secara simultan sehingga membuat tidak ada waktu yang terbuang.
Kerja cerdas Imam Nawawi lainnya dalam bekerja adalah kemampuannya untuk merumuskan masalah. Masalah yang sedemikian rumit bisa dikelompokkan akarnya sehingga lebih mudah menyelesaikannya.
Kecerdasan menyederhanakan masalah ini tergambarkan dalam kitab hadits Arbain yang ia tulis. Hadits Arbain adalah kitab yang memuat hadits-hadits utama yang membuat seseorang bisa memahami Islam secara keseluruhan dengan singkat.
Dengan cukup mempelajari sekitar empat puluh hadits saja, seseorang bisa memahami agama secara keseluruhan. Hampir semua masalah agama Islam bisa terjawab jika seseorang sudah memahami hadits arbain dengan baik.
Imam Nawawi memiliki kemampuan melihat akar permasalahan sehingga efisien dalam bekerja. Segala sesuatu tergantung akarnya. Untuk mematikan sebuah pohon yang besar, seseorang tidak perlu memotong cabang-cabang pohon menjadi kecil-kecil. Cukup memotong akarnya saja, pohon akan mati.
Prinsip bekerja menyelesaikan akar permasalahan akan menghasilkan efisiensi pekerjaan. Efisien adalah mengeluarkan tenaga dan biaya sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya.
Prinsip efisien yang diterapkan oleh Imam Nawawi bisa dijelaskan dengan konsep Pareto. Pareto adalah ahli ekonomi Italia yang merumuskan prinsip Pareto 80:20. Secara umum artinya adalah ada dua puluh persen masalah-masalah utama yang jika diselesaikan akan bisa menghilangkan delapan puluh persen masalah.
Misalnya suami istri sering bertengkar karena ada lima kebiasaan suami yang membuat istri marah. Setelah dianalisa, akan ditemukan satu (20%) kebiasaan yang menjadi masalah utama yang membuat istri sangat marah. Empat (80%) masalah lainnya hanyalah pelengkap. Empat masalah tersebut tidak akan meledakkan kemarahan istri selama tidak bersamaan dengan masalah utama.
Misalnya ada istri marah karena suami yang punya kebiasaan merokok, pulang lambat, buang sampah sembarangan, boros air, dan suka minum alkohol. Jika suami belum mampu menghilangkan semua kebiasaan tersebut, minimal ia harus mencari kebiasaan mana yang paling membuat istri marah.
Jika ternyata masalah utama yang membuat istri marah adalah meminum alkohol, maka suami harus fokus menghentikan kebiasaan minum alkoholnya. Suami akan bisa mengurangi rasa marah istri sampai dengan delapan puluh persen. Kunci dari kemarahan istri adalah kebiasaan suami meminum alkohol. kebiasaan yang lain masih bisa dimaafkan kecuali meminum alkohol.
Teknik menyelesaikan masalah utama (ushul) sebelum menyelesaikan masalah cabang (furu) telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam mengajar para sahabat. Sebelum mengajarkan fikih yang sebagian besarnya merupakan masalah furu, Nabi Muhammad SAW selama tiga belas tahun di Mekah mengajarkan aqidah yang berkaitan dengan ushul.
Ketika para sahabat telah mendapatkan pelajaran aqidah, mereka sangat mencintai Allah SWT. Mereka dengan semangat mempelajari fiqih dan menjalankan agamanya. Di saat itulah delapan puluh persen pekerjaan Nabi Muhammad SAW sudah rampung.
Wallahu a'lam bishshowab.
Orang-orang cerdas bisa punya waktu banyak untuk beribadah kepada Allah karena pekerjaan dunia bisa efektif dan efesien mereka kerjakan. Tabarakallah Ustadz
BalasHapus