Saat liburan sekolah, penulis dan saudara-saudara penulis biasanya berkumpul di Yogya. Berkumpul di rumah nenek untuk melepas rindu. Karena terpisah selama beberapa bulan, tentu bahan pembicaraan banyak dan seru.
Suatu ketika penulis sedang membaca buku dan adik penulis sedang berbincang-bincang dengan saudara kami. Tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Sangat gelap sehingga penulis tidak bisa melihat tangan penulis sendiri. Ini pasti mati lampu pikir penulis. Gelap gulita, tidak ada yang bisa dilihat. Penulis melebarkan mata, tetap tidak bisa melihat apapun. Semuanya hitam pekat.
Anehnya adik penulis terus asyik berbicara dengan saudara kami seperti tanpa terjadi apa-apa. Mereka meneruskan perbincangan tanpa sama sekali mengucapkan kata atau seruan yang menunjukkan lampu padam. Penulis jadi ketakutan. Jangan-jangan ini bukan mati lampu. Jangan-jangan penulis mengalami kebutaan mendadak. "Eh mati lampu ya?", tanya penulis.
Mendengar pertanyaan penulis, mereka tidak menjawab tapi malah membalas dengan tertawa bersama. Penulis semakin bertambah ketakutan. Bisa jadi tawa mereka disebabkan mereka mengira penulis bercanda. Bisa jadi lampu memang tidak mati, tetapi ada masalah dengan mata penulis.
Penulis bertanya lagi dengan nada serius untuk memastikan. Ternyata saat itu memang mati lampu. Namun, karena asyik berbincang-bincang, karena lama tidak bertemu, mereka tidak memperdulikannya. Toh sebentar lagi nenek kami biasanya akan mengantar lilin ke ruangan-ruangan. Mereka mentertawakan penulis yang ketakutan mengalami buta mendadak.
Fokus dalam menikmati sesuatu bisa membuat seseorang tidak memperdulikan keadaan sekelilingnya. Seperti halnya saudara-saudara penulis yang tidak memperdulikan mati lampu karena menikmati perbincangan.
Hal yang sama dialami anak penulis. Beberapa kali istri penulis menegurnya karena tidak melaksanakan perintah yang sudah diberikan. Si anak merasa tidak pernah mendengar perintahnya. “Kapan nyuruhnya?” katanya kebingungan. Karena asyik bermain, ia tidak fokus mendengar instruksi-instruksi bundanya.
Penulis pernah ikut kegiatan camping di pantai. Pada malam hari kami menggelar terpal di pasir pantai untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kebetulan yang menjadi imam membaca surah yang cukup panjang. Banyaknya nyamuk pantai membuat penulis gelisah. Beberapa kali penulis menggerakan kaki mengusir nyamuk yang hinggap karena tidak tahan dengan gatalnya gigitan nyamuk.
Seorang ustadz yang sholat di samping penulis seperti tidak gelisah dengan nyamuk yang banyak. Penulis berpikir, ”Ini nyamuk kok nggak mau gigit dia ya?” Apa benar ada tipe darah yang nggak disukai nyamuk? Apa dia belum mandi? Apa nyamuknya datang dari arah sisi penulis dan asyik menyerbu penulis sehingga tidak melanjutkan perjalanan ke sebelah? Beberapa pertanyaan hinggap di kepala penulis.
Selesai sholat berjamaah, kami menyalakan api unggun untuk menikmati suasana pantai di malam hari. Penulis memperhatikan kaki ustadz yang tadi berada di sebelah penulis. Ternyata kakinya penuh dengan benjolan merah yang artinya ia juga diserbu nyamuk pantai.
Penulis bertanya, “Kok ustadz waktu sholat nggak garuk-garuk. Nggak gatal ya?” Beliau menjawab dengan enteng, “Kamu mau sholat atau mau ngurusin nyamuk?” Betul juga, karena fokus dengan nyamuk, penulis jadi kehilangan fokus dengan sholat. Seandainya saat itu penulis fokus dan menyibukkan diri dengan sholat, tentu penulis bisa sedikit melupakan kehadiran nyamuk yang ada.
Menikmati merupakan kunci untuk dapat fokus. Bagi mereka yang sudah bisa menikmati ibadah, mereka bisa fokus atas kenikmatan ibadah sehingga tidak memperdulikan lagi kondisi sekelilingnya. Ibadah mereka bisa lebih khusyuk karena tidak terganggu hal-hal lain.
Masalahnya adalah bagaimana bisa memfokuskan kepada kenikmatan beribadah sedangkan mereka belum berhasil menemukan nikmatnya ibadah? Ketika dikatakan, “Sudah, fokus saja dengan nikmatnya ibadah. Nanti gangguannya hilang sendiri.” Bagaimana mau fokus kepada kenikmatan sedangkan mereka tidak menemukan kenikmatan tersebut. Rasanya seperti mendapat perintah, “Perhatikan yang baju merah!” Padahal tidak ada yang berbaju merah.
Di dalam video yang diupload di youtube, ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa para penikmat ibadah merasa heran, kok bisa ada orang yang tahan beribadah padahal tidak merasakan nikmatnya ibadah. Kenapa ada orang yang mau sholat padahal ia belum merasakan nikmatnya? Rela untuk membaca Al-Quran berjuz-juz dengan tanpa disertai kenikmatan.
Bagi orang yang sudah berhasil menemukan nikmatnya ibadah, mereka merasa heran dan kagum dengan orang-orang yang mau beribadah padahal belum menemukan kenikmatan di sana. Di sisi lain, bagi mereka yang belum merasakan ibadah, mereka juga merasa heran dan kagum dengan kehebatan orang-orang yang sudah menikmati ibadah. Kenapa mereka mampu sholat sedemikian lama dan puasa sedemikian banyak?
Penulis pernah bertemu dengan seseorang yang memiliki kebiasaan sholat ratusan rakaat setiap hari. Ia banyak mengerjakan sholat sunah seperti dhuha, rawatib, tahajud, witir, dan lain-lain. Ia mengatakan bahwa setiap kali selesai mengerjakan sholat ia merasa kurang dan ingin menambahnya lagi. Karena ia telah merasakan nikmatnya sholat, maka mudah baginya mengerjakan sholat ratusan rakaat.
Ia juga menganjurkan kepada penulis kalau bisa jika mengerjakan sholat sunah, seperti dhuha atau tahajud, jangan hanya dua rakaat. Karena dua rakaat itu masuk kategori sedikit. Jika ingin dianggap banyak, minimal mengerjakannya empat rakaat. Di dalam bahasa arab, sesuatu akan dianggap jamak (banyak) jika jumlahnya minimal tiga.
Waktu terasa singkat jika sedang berada di dalam kenikmatan. Dua orang yang melakukan pekerjaan yang sama bisa mengalami perbedaan perasaan terkait waktu yang mereka jalani. Bagi yang menikmati, waktu terasa singkat. Bagi yang lainnya waktu terasa berjalan lambat. Ada orang-orang yang terbiasa bersholawat sepuluh ribu kali setiap harinya. Jika ditanya, “Lama nggak?” Mereka akan berkata, “Sebentar aja itu.”
Salah satu cara paling efektif agar dapat menikmati ibadah adalah dengan cara mengenal Allah SWT. Para ahli tasawuf berkata, “Kenali dulu siapa yang akan disembah sebelum menyembahNya.” Adalah hal yang lucu jika ada orang beribadah tetapi tidak mengenal siapa yang dia ibadahi.
Itulah rahasia kenapa Rasulullah SAW selama tiga belas tahun di kota Mekah mengembleng para sahabat untuk mengenal Allah SWT. Banyak tata cara ibadah (fikih) seperti puasa, zakat, haji, dan sistem bermasyarakat baru diajarkan setelah hijrah ke Madinah. Cara sholat lima waktu pun baru disampaikan setelah di Madinah. Sebelumnya hanya sholat pada pagi dan petang yang caranya berbeda dengan sholat setelah peristiwa isra’ mi’raj di Madinah.
Metode yang efektif untuk dapat mengenal Allah SWT adalah dengan berdzikir secara khusus. Dzikir yang dilakukan secara intensif di luar dari dzikir yang sudah rutin dilakukan setelah sholat. Dzikir-dzikir ini biasanya disampaikan secara bersanad dari Nabi Muhammad SAW yang jalurnya biasanya melalui sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq dan Ali bin Abi Thalib.
Di dalam ilmu fikih dikenal para Imam Madzhab. Yang terkenal adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Para imam tersebut bukan menciptakan sendiri fikih yang mereka ajarkan. Apa yang mereka sampaikan semua berasal dari Nabi Muhammad SAW. Perbedaan metode, takhrij hadits, dan lainya yang membuat terjadi perbedaan fikih di antara mereka.
Di dalam ilmu tasawuf juga dikenal para Imam Tarekat yang disebut Mursyid yang mengajarkan metode dzikir yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Yang terkenal antara lain adalah Syaikh Abdul Qodir Jailani dan Syaikh Bahauddin al-Naqsyabandi. Karena Nabi Muhammad SAW mengajarkan cara yang berbeda antara dzikir Abu Bakar Ash-Shidiq dan Ali bin Abi Thalib, muncullah beberapa metode dzikir.
Para Imam Madzhab mengajarkan fikih agar manusia mengetahui tata cara jasmani beribadah kepada Allah SWT. Tata cara ini sangat menentukan sah atau tidaknya ibadah. Sedangkan para Mursyid mengajarkan tasawuf agar manusia mengetahui tata cara ruhani beribadah kepada Allah SWT. Tata cara ini sangat menentukan khusyuk atau tidaknya ibadah.
Masih nggak mau belajar fikih? Masih nggak mau belajar tasawuf? Bagaimana mau fokus ibadah? Mengerti aja enggak.
Wallahu a'lam bishshowab
Luar biasa tadz. Tapi bagi orang awam memutuskan untuk menambah jadwal belajar fiqih dan tasawuf akan berat. Mereka pikir jadwal udah penuh.
BalasHapus