Di momen lebaran, saat mendatangi undangan makan salah satu pengurus yayasan, penulis melewati masjid yang memasang spanduk dengan tulisan, "Kalau sandal hilang di masjid itu hanya musibah kecil. Tapi kalau sandalmu tak pernah ada di masjid, itu musibah yang sebenarnya." Tulisan ini bisa jadi untuk mengingatkan orang-orang muslim, terutama laki-laki, bahwa jarang ke masjid adalah kerugian.
Masjid adalah tempat yang penuh dengan rahmat. Ketika orang-orang berkumpul untuk mengingat Allah SWT di masjid, para malaikat berkumpul mendoakan ampun untuk semua yang berada di sana. Melangkah ke masjid untuk sholat lima waktu saja sudah menghapus dosa, belum lagi ketika melihat wajah-wajah orang sholeh yang bisa membersihkan hati. Masjid akan menjadi obat hati bagi para pengunjungnya.
Spanduk tersebut bisa jadi juga untuk menghibur orang yang kehilangan sandalnya saat sholat di masjid. Hal yang juga sering penulis alami. Beberapa kali penulis harus pulang ke rumah bertelanjang kaki dan menikmati terapi panas aspal jalanan. Sebenarnya penulis sudah menggunakan trik memisah sandal kanan dan sandal kiri agak berjauhan sehingga menyulitkan orang yang ingin mengambilnya. Namun, sering ada orang yang baik hati merapikan sandal. Membariskannya sesuai dengan pasangannya. Padahal ini sangat membantu orang yang ingin menggasak sandal. Dengan mudah ia menemukan sandal yang terlihat mahal beserta pasangannya sekaligus.
Meskipun kehilangan sandal adalah hal yang tidak menyenangkan, namun karena harta berada di urutan paling bawah di antara kekayaan yang dimiliki manusia, maka tidak selayaknya seseorang sedih secara berlebihan. Di dalam pelajaran fikh, bab tentang maqoshid syariah, ada lima kekayaan yang harus dijaga. Harta hanya salah satunya saja.
Di dalam fikih, jika ada sesuatu yang akan merusak salah satu dari lima kekayaan, maka sesuatu tersebut bisa dihukumi makruh atau haram. Sebaliknya sesuatu yang dapat menjaga atau memperbaiki lima kekayaan bisa menjadi sunah atau wajib.
Lima kekayaan yang harus dijaga tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Contohnya adalah segala sesuatu yang membahayakan jiwa bisa jatuh menjadi haram. Mengkonsumsi narkoba, meminum khamr, bunuh diri adalah hal yang diharamkan dalam Islam karena membahayakan jiwa. Mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyiban (bergizi) bisa menjadi sunah bahkan wajib karena menjaga kesehatan tubuh.
Secara logika, kenapa harta menempati urutan terbawah dari maqoshid syariah? Kenapa harta nilainya lebih rendah daripada keturunan? Para ulama tentu lebih bisa untuk menjelaskannya. Namun, secara logika, jika seseorang memiliki harta yang banyak tetapi belum memiliki keturunan, tentu kehidupannya akan terasa hampa. Untuk siapa harta yang telah ia kumpulkan? Siapa yang akan menemaninya di masa tua? Jika teman-temannya sudah tiada, tentu hanya anak dan cucunyalah yang menjadi tempat untuk berkasih sayang.
Beberapa teman penulis menghabiskan puluhan atau mungkin ratusan juta rupiah untuk mendapatkan keturunan. Berbagai dokter dan penasihat kandungan mereka datangi. Meskipun berada di tempat yang jauh dan menghabiskan dana, waktu dan tenaga, mereka terus berupaya. Seorang aktor terkenal yang sudah putus asa karena tidak dikaruniai anak mengatakan bahwa ia bersedia menukar seluruh kekayaannya agar bisa mendapatkan seseorang yang akan memanggil dirinya ayah.
Seseorang yang dikaruniai dengan kekayaan berupa keturunan, harus bisa menjaganya dengan baik. Janganlah karena harta ia mengorbankan anak-anaknya. Orang tua yang sibuk mencari harta, namun lupa menyayangi anak-anaknya tidak menyadari bahwa anak lebih tinggi nilainya daripada harta. Orang tua yang mengutamakan harta daripada anak tidak boleh terkejut ketika kelak menemukan bahwa anaknya lebih mencintai harta daripada dirinya.
Kekayaan harta juga lebih rendah daripada kekayaan akal. Akal adalah hal yang bisa menjaga semua kekayaan yang ada. Berikanlah uang yang banyak kepada orang yang bodoh dan pintar. Dalam waktu singkat harta yang berada di tangan orang bodoh akan habis, sedangkan harta yang berada di tangan orang pintar akan bertambah. Dengan akalnya orang pintar mampu membeli barang lebih murah, merawatnya dengan baik, bahkan mengembangkannya menjadi lebih banyak.
Konsep harta lebih rendah daripada akal membuat orang yang bijaksana akan siap menghabiskan uang untuk mendapat ilmu. Ia berusaha menjadi orang yang memiliki akal yang cerdas agar bisa meraih kebahagiaan yang lebih tinggi.
Sungguh beruntung Imam Bukhori, Imam Nawawi, dan para ilmuwan yang memiliki orang tua yang rela menghabiskan hartanya untuk mengirim anak-anaknya mencari ilmu. Dengan ilmu yang tinggi, akhirnya mereka meraih keistimewaan yang lebih tinggi nilainya dari harta yang mereka habiskan.
Kedudukan harta juga lebih rendah daripada jiwa sehingga semua orang akan siap kehilangan hartanya untuk menyelamatkan jiwanya. Kesehatan adalah hal yang tidak bisa dinilai dengan uang. Betapa naifnya orang-orang yang mengorbankan kesehatannya untuk mendapatkan harta. Jika memiliki harta yang banyak tetapi kesehatannya tidak mengijinkan untuk menikmatinya, buat apa?
Seorang kuli bangunan yang tidur nyenyak karena memiliki tubuh yang sehat sebenarnya lebih kaya daripada seorang konglomerat yang terbaring sakit di rumah sakit yang tidak bisa tidur karena suntikan jarum infus di tangan. Seorang pengemis yang menikmati makannya yang berlauk tempe lebih kaya daripada hartawan yang hanya bisa menatap kambing guling di hadapannya karena kesehatannya melarang menyantapnya.
Kedudukan harta sangat rendah dibandingkan dengan agama, namun beberapa orang tidak memahaminya. Ada orang yang menginfakkan hartanya untuk memperbaiki agamanya, tetapi ada yang justru menukar agamanya dengan harta. Dengan tawaran pekerjaan atau jabatan, mereka rela berpindah agama.
Orang pertama yang memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW dari bangsa Romawi adalah Suhaib bin Sinan. Ia adalah pengusaha yang kaya raya di Mekkah. Saat kaum Muslimin hijrah ke Madinah, ia ingin turut serta pindah ke Madinah. Kaum musyrik menghalanginya hijrah ke Madinah.
Suhaib mengatakan bahwa ia rela menyerahkan seluruh harta kekayaannya agar tidak dihalangi pindah ke Madinah. ia pun berhasil pergi ke Madinah. Hijrah yang merubahnya dari seorang hartawan menjadi seseorang yang miskin tanpa harta.
Mendengar cerita tentang Suhaib, Nabi Muhammad SAW berkata, "Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya." Meskipun Suhaib kehilangan hartanya, ia mendapatkan kebaikan dalam agamanya. Semua pengorbanan hartanya akan dibalas di negeri akhirat dengan berlipat ganda. Ia juga mendapat kebahagian dari keberkahan agama yang ia pegang erat.
Kesulitan meletakan agama di atas harta disebabkan konsep berpikir bahwa kunci kebahagiaan adalah harta. Padahal harta yang banyak belum tentu menjamin kebahagiaan. Sedangkan orang yang beragama, sangat mudah berbahagia. Apa pun kondisinya. Allah SWT berfirman:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus ayat 62)
Hasil penelitian, orang yang beragama tidak mudah stress. Khawatir dan sedih yang mereka alami sangat ringan. Mereka tidak khawatir terhadap masa depan karena meyakini bahwa Allah SWT tidak akan memberikan ujian kecuali sesuai dengan kemampuannya. Mereka juga tidak bersedih hati atas apa yang sudah terjadi karena meyakni bahwa taqdir telah ditentukan dan tidak bisa ia hindari.
Bagi orang yang beragama, nikmat kekayaan yang terbesar adalah iman dan takwa. Ketika ada ujian yang menimpa selain masalah agama, mereka akan berkata, “Ah, dunia aja ini, bukan masalah akhirat.”
Orang yang kehilangan hal yang sepele seharusnya tidak perlu terlalu bersedih. Ia harus diingatkan akan kenikmatan-kenikmatan lain yang masih ia miliki. Penulis teringat ucapan seorang anak kecil yang membuat penulis tertawa. Ia menegur kakaknya dengan lidahnya yang cadel, “Gitu aja nangis.”
Wallahu a'lam bishshowab
Barakallahu Fikk Ustadz
BalasHapus