Hari ke-7 Ramadhan, Kepala Kanwil DJP Kaltim dan Utara memberikan penguatan mental kepada seluruh pegawai KPP Pratama Tenggarong. Beliau mengatakan bahwa beliau pernah berusaha mendamaikan pasangan suami istri yang akan bercerai. Alasan istri adalah suaminya tidak mengerti apa yang ia inginkan. Ketika ditanyakan kepada suami, apa masalahnya, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa mengerti apa keinginan istrinya.
Pepatah mengatakan bahwa memahami soal adalah separuh dari jawaban. Artinya jika permasalahan telah diketahui maka mencari solusinya sangat mudah. Karena permasalahannya sudah jelas yaitu suami tidak memahami keinginan istri, maka solusinya pun jelas, yaitu suami diberitahukan keinginan istrinya. Beliau menyuruh sang istri untuk memberitahukan keinginannya kepada suaminya.
Kasus yang mudah diselesaikan. Istri memberitahukan keinginannya, kemudian case closed. Ternyata tidak sesederhana itu. Ternyata keruwetan yang sering ditampilkan dalam drama Korea juga ada dalam kehidupan nyata.
Istrinya mengatakan bahwa ia ingin suaminya mengetahui apa yang ia inginkan meskipun tidak diberitahu. Ia mengatakan bahwa kalau suaminya melaksanakan keinginannya setelah diberitahu itu sudah basi. Jika memberi setelah diminta, itu merupakan tanda suaminya kurang perhatian. Duh, kenapa dulu nggak nikah sama cenayang aja? Khan enak bisa membaca pikiran.
Setelah menceritakan kasus di atas, Kepala Kanwil berpesan tentang konsep menerima (acceptance) agar tidak mudah kecewa. Ketika atasan, rekan kerja, tetangga, pasangan, tidak ideal, bersikaplah "menerima" apapun kondisi yang ada. Ada filosofi jawa yaitu "Nrimo ing pandum" yang artinya menerima pembagian yang diberikan Allah SWT.
Konsep "Nrimo ing pandum" di dalam Islam disebut dengan qona’ah. Kehidupan akan nyaman jika memiliki sifat ini sebagaimana pesan Nabi kepada Abu Hurairah:
"Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qona’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling bersyukur" (HR. Ibnu Majah)
Salah seorang rekan penulis bertanya kepada Kepala Kanwil bagaimana caranya bisa menerima kondisi yang ada jika posisi berada di bawah? Tentu lebih mudah menerima keadaan jika menjabat sebagai Kakanwil yang berada di atas.
Kakanwil mengatakan bahwa ia juga memiliki atasan yaitu Direktur Jenderal. Ia juga mengalami tekanan dalam bekerja. Demikian pula dengan atasannya. Karena sering berinteraksi, ia mengetahui betapa beratnya beban seorang Direktur Jenderal.
Dari jawaban kakanwil tersebut dapat disimpukan bahwa setiap orang memiliki masalah. Bahkan presiden sekalipun pada dasarnya dituntut rakyat yang memilihnya. Semakin tinggi posisi seseorang, maka tuntutan yang diterima juga akan semakin berat. Banyak yang melihat dan menghujatnya jika melakukan kesalahan. Hal yang tidak akan menimpa bawahan.
Salah satu kunci agar mampu menerima keadaan adalah memiliki pengetahuan yang luas. Sering terjadi kasus suami istri bercerai karena kurangnya pengetahuan tentang humaniora. Mereka tidak memahami perbedaan wanita dengan pria dari sisi psikologi, fisik dan lain-lain.
Wanita merasa bahagia jika pria bisa memahami dirinya sehingga ia sering membuat tebak-tebakan. Padahal itu permainan yang sangat menjengkelkan bagi pria. Contoh pertanyaan mematikan yang membahayakan suami adalah “Lihat ke aku Mas, ada yang beda nggak?”
Dalam kasus pasangan yang diceritakan di atas, istrinya merasa sudah mengirim sinyal yang jelas sehingga seharusnya suaminya sudah bisa menangkap keinginannya. Padahal bagi pria, wanita adalah makhluk Allah SWT yang susah untuk difahami. Jika ada soal ujian pelajaran memahami wanita, mungkin hanya sedikit pria yang mampu lolos.
Anak lelaki bungsu penulis beberapa kali salah dalam melaksanakan perintah istri penulis. "Bunda ngomongnya nggak jelas sih." keluhnya. Perintahnya tidak difahami karena kurang detil. Padahal kata-kata yang digunakan adalah kata yang 'tersurat'. Bayangkan jika wanita menggunakan kata yang 'tersirat' dan bersayap. Serasa mengerjakan soal yang materinya tidak ada di dalam buku paket.
Ada meme di media sosial yang mengolok-olok laki-laki, "Kenapa lelaki jika mengambil baju terjadi gempa bumi?" Baju yang tersusun rapi di lemari akan berantakan begitu laki-laki mengambil baju. Wanita yang tidak mengetahui kelemahan laki-laki ini akan mengira suaminya cari gara-gara. Sebenarnya suami ingin merapikan kembali lemari baju setelah mengambil baju yang dibutuhkan. Namun, bagi laki-laki, menyusun baju yang ukuran berbeda-beda menjadi menara yang tersusun rapi seperti roti tawar yang memiliki ukuran yang sama adalah pekerjaan yang sulit.
Untunglah istri penulis memiliki pengetahuan yang cukup terkait kelemahan laki-laki dalam masalah kerapian. Mungkin karena ia memiliki beberapa saudara laki-laki. Semasa gadis ia bertugas menyetrika baju di rumah. Dulu bapaknya sering membuat lemari pakaian berantakan. Kini suaminya hanya meneruskan tradisi tersebut.
Langkah awal ketika menemukan hal yang tidak ideal adalah berusaha untuk merubah keadaan menjadi ideal. Jika ada hal yang tidak menyenangkan bagi pasangan, yang harus dilakukan pertama kali adalah membujuk pasangannya untuk berubah. Namun jika ternyata tidak ditemui kesepakatan, maka langkah kedua adalah berusaha menerima keadaan dengan menurunkan standar.
Kadang-kadang dibutuhkan pihak lain yang netral dalam menyusun kesepakatan. Bisa jadi wawasan suami atau istri kurang luas sehingga butuh masukan dari pihak ketiga yang akan menjadi hakim untuk menentukan ketetapan mana yang akan diambil. Di dalam Al-Quran dijelaskan proses mediasi pihak ketiga untuk mendamaikan pasangan:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa ayat 35)
Proses mediasi yang melibatkan masing-masing keluarga tentu akan lebih mudah diterima. Jika orang yang ditunjuk mewakili suami dan istri telah sepakat tentu keputusan yang diambil lebih adil. Suami akan mengevaluasi pendapatnya jika ternyata hakim dari pihak keluarganya justru membela pendapat istri.
Ketika kondisi ideal tidak dapat diwujudkan, langkah selanjutnya untuk dapat menerima kenyataan adalah dengan membayangkan hal yang lebih buruk. Saat suami memiliki penghasilan yang pas-pasan, bayangkanlah bahwa di tempat lain ada orang yang memiliki suami yang kehilangan pekerjaan. Saat jarang bertemu keluarga karena lokasi pekerjaan di luar home base, bayangkanlah ada orang yang berada di penjara yang lebih sulit untuk melepaskan rindu. Bahkan ada orang-orang yang telah kehilangan pasangannya.
Proses menurunkan konsep ideal agar keadaan yang semula tidak ideal terasa menjadi ideal diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW di dalam hadits:
“Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian itu lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu,” (HR Bukhari dan Muslim)
Menerima keadaan akan lebih mudah dilakukan jika meyakini bahwa kondisi yang ada merupakan pilihan terbaik yang sudah ditentukan Allah SWT. Itulah sebabnya orang yang memiliki keyakinan beragama yang kuat akan lebih mudah menerima keadaan. Ia yakin bahwa ini adalah pemberian yang terbaik dari yang Maha Pengasih.
Meskipun kondisi tidak ideal, life must go on. Ketika tidak ada lagi upaya untuk menjadikannya ideal, maka yang dilakukan adalah membiarkan waktu menyelesaikannya. Hujan yang lebat akan berhenti. Kemarau yang panjang akan diakhiri dengan turunnya hujan. Semua yang tidak menyenangkan akan menjadi kenangan yang menambah nikmatnya kehidupan.
Ingin mengetahui nikmatnya kebebasan? Tanyakanlah kepada mereka yang pernah berada di penjara. Merekalah yang mampu merasakan nikmatnya kebebasan. Ingin mengetahui nikmatnya berada di tengah keluarga? Tanyakanlah kepada mereka yang pernah bekerja jauh dari keluarga. Merekalah yang pernah merasakan menahan rindu sampai hati terasa ditusuk sembilu.
Wallahu a'lam bishshowab
Luar biasa memahami pasangan hidup seperti memahami makhluk yg berasal dari planet lain. Bahkan kita sendiri kadang tidak bisa memahami diri sendiri. Wal hasil bagaikan kita dari planet Mars dan si dia dari planet Pluto . Syukron informasinya dan motivasinya ustadz
BalasHapus