Suatu hari istri penulis menceritakan tentang obrolan teman-temannya yang membahas tentang pasangan suami istri. Seorang gadis memberikan komentar bahwa istrinya terlalu berlebihan. Komentar tersebut menimbulkan reaksi dari mereka yang sudah menikah.
Mereka mentertawakannya karena belum menikah sehingga belum merasakan sendiri. Pemahamannya masih sebatas teori, belum di level praktek. Jika gadis tersebut sudah menikah, mereka yakin gadis tersebut juga akan memberikan reaksi yang sama.
Penulis pernah mendengar seorang ustadz yang mengomentari orang yang pergi ke Mekah berkali-kali untuk melaksanakan haji dan umroh. Menurutnya orang yang pergi haji dan umroh berkali-kali itu berlebihan. Bukankah kewajiban haji hanya satu kali?
Setelah ustadz tersebut melaksanakan haji dan merasakan sendiri, ia kini menyadari kenapa ada orang yang pergi ke Mekah berkali-kali. Ia tidak bisa lagi menyalahkan orang yang berulangkali umroh karena ia pun ingin melakukannya. Ia telah mengerti rasanya menjadi tamu Allah SWT. Rasa yang tidak bisa ia lukiskan dengan kata-kata.
Perasaan dan pengalaman adalah hal yang sulit ditransfer. Guru yang hebat sekalipun membutuhkan jam praktek lapangan untuk menyempurnakan pelajarannya. Teori di kelas tidak cukup. Semua murid harus mempraktekkannya sendiri agar faham sempurna.
Silahkan susun ribuan kata-kata untuk menjelaskan rasa buah pir kepada orang yang belum pernah memakannya. Buah pir rasanya manis namun ada unsur asamnya. Struktur buah pir tersusun dalam bentuk gelembung-gelembung kecil yang jika digigit akan pecah dan mengeluarkan air. Aromanya khas dan tidak menyengat. Rasanya ada kemiripan dengan apel tetapi tidak sepadat buah apel. Airnya tidak sebanyak semangka, tetapi lebih banyak daripada bengkuang.
Semakin banyak kata-kata yang diberikan untuk menjelaskan buah pir, semakin pendengarnya mengernyitkan dahinya tanda kebingungan. Meskipun dijelaskan selama satu jam, orang tidak akan faham rasa buah pir. Namun, dengan menyuruhnya memakan buah pir, cukup satu menit sudah membuatnya faham rasa buah pir.
Kesulitan menjelaskan rasa membuat banyak orang terkadang merasa heran dengan syair ataupun doa yang diucapkan oleh para sufi yang dimabuk cinta kepada Allah SWT. Mereka tidak bisa memahaminya karena belum pernah mengalaminya. Salah satunya adalah syair yang diucapkan oleh Rabiatul Adawiyah:
"Tuhanku, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku daripadanya. Tetapi jika Kau kupuja karena Engkau, janganlah Engkau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal dariku."
Bagaimana mungkin ada orang yang beribadah bukan karena menginginkan surga atau takut neraka? Mengapa Rabiatul Adawiyah beribadah hanya untuk mengharap agar mampu merasakan keindahan Allah SWT? Syair di atas menunjukkan cinta yang kuat kepada Allah SWT. Rasa cinta memang susah dijelaskan. Mereka yang belum merasakan mabuk cinta kepada Allah SWT tentu susah memahaminya.
Bagi orang yang sedang jatuh cinta, semua terlihat indah. Lihatlah prilaku seorang ibu yang memiliki anak yang masih kecil. Ia menyukai semua perbuatan anaknya. Ia senang melihat anaknya tersenyum atau memeluknya. Ia pun menikmati saat anaknya cemberut karena sedang kesal hatinya. Lirikan mata anaknya karena sedang jengkel bahkan terlihat menggemaskan bagi ibunya.
Suatu hari Rabiatul Adawiyah berada di dekat Sufyan At-Tsauri yang sedang berdoa, “Ya Allah, berikanlah ridha-Mu padaku.” Rabiatul Adawiyah lalu berkata, “Apakah kau tidak malu kepada Allah dengan meminta ridha-Nya. Sedangkan dirimu tidak ridha atas ketentuan-Nya?”
Bagi Rabiatul Adawiyah, hamba harus ridho dengan ketentuan Allah SWT. Ia mendefinisikan ridha atas ketentuan Allah SWT adalah sebagai berikut, “Ketika musibah membuatnya bahagia sebagaimana kebahagiaannya ketika mendapatkan nikmat.”
Jatuh cinta kepada Allah SWT adalah tujuan para salik. Salik adalah orang yang menempuh jalan untuk mencapai ma’rifat kepada Allah SWT. Kata salik diambil dari ayat Al-Quran surah An-Nahl ayat 69 yang artinya “…tempuhlah jalan TuhanMu…”.
Perjalanan para salik yang melewati tahapan syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat adalah pengalaman yang sulit untuk dijelaskan. Ia harus dijalani secara mandiri sehingga bisa difahami. Bagaimana caranya melepaskan diri dari keterikatan dunia? Bagaimana caranya mencintai Allah SWT? Itu tidak bisa dijelaskan dengan teori, harus dipraktekkan dengan melakukan suluk.
Pekerjaan yang sama, bisa memiliki tujuan yang berbeda. Tergantung sejauh mana perjalanan yang sudah ditempuh sang salik. Misalnya ada tiga ustadz yang mengajar. Ustadz pertama masih berorientasi dunia. Maka saat ia mengajar, di dalam kepalanya terbersit amplop transport yang akan ia terima. Ia juga terpikir, mungkin ada di antara murid-muridnya ini nanti akan berguna untuknya di dunia.
Ustadz yang kedua tidak lagi berorientasi dunia. Ia telah mengetahui hakikat dunia dan tidak tertipu olehnya. Ia mengejar surga dan lari dari neraka. Baginya amplop tidak penting. Kalau perlu ia rela mengeluarkan uang untuk membantu murid-muridnya.
Ustadz yang ketiga yang perjalanannya telah sampai kepada ma’rifat, mengajar karena cinta kepada Allah SWT. Ia telah mengenal Tuhannya dan bersyukur atas nikmat yang ia terima. Ia tidak mengejar imbalan surga. Ia ingin membalas kebaikan Allah SWT kepadanya. Mereka akan berada di surga yang tertinggi dan dekat dengan Allah SWT. Inilah yang dikatakan oleh para ulama bahwa derajat syukur lebih tinggi daripada takwa.
Banyak perumpamaan yang dibuat oleh ulama untuk menggambarkan perjalanan salik untuk menuju Allah SWT. Ada yang mengumpamakan syariat adalah perahu, hakikat adalah lautan, dan mutiara yang indah di dalam lautan adalah ma’rifat.
Di dalam suatu ceramah penulis mendengar perumpamaan lain. Ada seorang anak yang ikut ayahnya pergi ke kota Istanbul. Anak tersebut terkagum-kagum dengan indahnya kota Istanbul. Ia mengira telah sampai di tempat tujuan. Ternyata perjalanannya belum selesai.
Mereka menuju sebuah taman yang indah di tengah kota Istanbul. Anak tersebut lebih takjub lagi karena tamannya begitu indah. Ia mengira akan duduk istirahat dan menikmati keindahan taman. Ternyata ayahnya terus berjalan menuju sudut taman yang di sana terdapat sebuah bunga yang harum dan indah warnanya. Jadi tujuan utama ayahnya bukan kota Istanbul atau taman, tetapi sekuntum bunga yang merupakan puncak keindahan.
Sebagaimana perumpamaan di atas, banyak orang yang mengira bahwa dunia adalah tempat mereka sesungguhnya. Mereka tertipu dan tidak melanjutkan perjalanan selanjutnya. Namun, sebagian lagi melanjutkan perjalanan. Mereka berlatih agar bisa melepaskan dunia dari hatinya. Mereka melatih diri sebagaimana seorang salik yang mengurangi makan, sedikit tidur, sedikit berbicara, menundukkan pandangan, dan mengurangi kenikmatan-kenikmatan dunia.
Sebagian lagi yang merupakan kelompok yang lebih kecil mampu melanjutkan perjalanan dengan mendapatkan cinta Allah SWT. Mereka bukan hanya mampu melepaskan ikatan dunia, tapi juga sudah berlatih banyak mengingat Allah SWT dalam kesehariannya.
Kurikulum yang dipraktekkan oleh para salik belakangan ini disebut tasawuf. Sebenarnya prakteknya sudah ada dan diajarkan oleh sahabat Abu Bakar Ashidiq dan Ali bin Abi Thalib. Namun penamaannya sebagai ilmu tasawuf baru belakangan.
Seperti halnya penamaan ilmu fikih juga tidak ada di zaman sahabat. Namun, prakteknya sudah dilakukan oleh para sahabat. Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad menyusun dan menjelaskan ilmu tersebut menjadi lebih rapi dalam kitab fikih.
Mempelajari syariat adalah tahapan pertama. Ilmu fikih yang merupakan tata cara ibadah harus dikerjakan sesuai tuntunan. Ketika seseorang mempelajari ilmu tasawuf untuk dapat merasakan kehadiran Allah SWT dalam ibadahnya, ia tidak boleh meninggalkan syariat. Justru ilmu tasawuf digunakan untuk memperkuat syariat.
Imam Syafi’i berkata:
“Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fikih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.Orang yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kenikmatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fikih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik.“
Wallahu a'lam bishshowab
Masya Allah banyak yg tertipu dan rela tertipu karena sudah puas dengan keindahan dunia yg fana. La Haula wala quwwata Illa billah
BalasHapus