Saat masih kecil, putra penulis pernah bertanya, “Nanti di surga ada robot?” Ketika itu di televisi lagi musim film-filem yang menampilkan robot yang membela kebenaran. Baginya robot adalah hal yang hebat, ia ingin mempunyai robot di surga. Duh, buat apa juga punya robot di surga? Khan sudah tidak ada orang jahat di sana. Khan sudah ada para pelayan yang disebut bidadari surga.
Karena imajinasinya masih terbatas, penulis pun mengikuti kemampuan daya khayalnya yang khas anak kecil. Al-Quran di dalam surah Fushilat ayat 31 menyatakan bahwa penghuni surga akan mendapatkan semua apa yang ia inginkan dan ia minta. Penulis mengiyakan keinginannya memiliki robot di surga.
Penulis menjawab, “Oh iya, kamu mau robot setinggi gunung juga bisa di surga.” Percuma menjelaskan betapa harum dan cantiknya para bidadari. Akalnya belum baligh sehingga belum bisa memahaminya. Seandainya kelak sudah berada di surga, apa mungkin ia masih menginginkan robot. Keindahan robot tidak akan bisa mengalahkan keindahan dan kelembutan bidadari. Belum lagi Istri sholehah yang ketika masuk surga kecantikannya tentu lebih mempesona daripada bidadari surga. Masih pingin robot di surga?
Keinginan seseorang akan mengikuti daya nalarnya. Jika kepada anak kecil ditawarkan sebongkah intan permata dan semangkuk es krim, ia akan memilih semangkuk es krim. Baginya intan permata hanya mainan yang tidak bisa dimakan. Padahal jika ia memilih sebongkah intan permata, ia bisa membeli pabrik es krim. Banyak yang bersedia menukar intan miliknya dengan ratusan ember es krim.
Semakin bijaksana seseorang, ia akan semakin bisa mengetahui mana yang lebih berharga. Itulah sebabnya keinginan manusia bisa berubah saat ia mengetahui hal yang lebih berharga. Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah contoh seseorang yang berubah obsesi hidupnya.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan bahwa dulu ia ingin menjadi gubernur. Lalu ia berhasil mendapatkannya. Ia menjadi gubernur Madinah. Kemudian ia ingin menikah dengan Fatimah binti Abdul Malik yang merupakan putri khalifah yang cantik jelita. Ia pun berhasil meminangnya. Setelah menikah dengan Fatimah binti Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz terobsesi menjadi khalifah.
Seiring perjalanan waktu, keinginannya menjadi khalifah memudar. Pengalamannya menjadi gubernur Madinah membuatnya berpikir ulang. Umar bin Abdul Aziz bekerja siang malam untuk mensejahterakan rakyat Madinah. Ia berusaha menjadi pemimpin yang adil dan amanah. Mengurusi masyarakat Madinah saja sudah terasa berat baginya, bagaimana nanti kalau ia menjadi khalifah yang harus mengurus wilayah yang lebih luas? Apakah ia sanggup memikulnya?
Namun di saat ia sudah tidak lagi ingin menjadi khalifah, justru jabatan tersebut menghampirinya. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik mendapat bisikan dari penasehatnya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti. Menjelang wafat khalifah Sulaiman bin Abdul Malik mengumpulkan para menteri dan meminta mereka untuk bersumpah setia (berbaiat) kepada khalifah pengganti yang sudah ia tulis dalam surat wasiatnya. Ketika Beliau wafat, surat wasiat itu pun dibuka dan dibacakan.
“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah surat keputusan dari hamba Allah, Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul Mukminin untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya, aku telah mengangkatnya sebagai khalifah setelahku…”
Pengangkatan ini tentu membuat Umar bin Abdul Aziz bersedih. Ia tidak ingin menjadi khalifah tetapi keadilannya saat menjabat gubernur Madinah membuat orang-orang menginginkannya menjadi khalifah. Umar bin Abdul Aziz berusaha mengembalikan jabatan tersebut kepada rakyat. Ia mengumpulkan masyarakat dan berpidato di hadapan mereka.
“Aku tidak menghendaki jabatan khalifah. Aku tidak pernah diajak musyawarah atas jabatan itu, juga tidak pernah memintanya. Maka, cabutlah baiat itu dan pilihlah yang kalian kehendaki.”
Namun, masyarakat tidak menginginkan khalifah yang lain. Mereka menyatakan bahwa mereka telah memilihnya sebagai khalifah. Jabatan khalifah yang telah dilepaskan oleh Umar bin Abdul, diserahkan kembali oleh masyarakat kepada dirinya. Umar bin Abdul Aziz hanya bisa menangis tersedu-sedu. Umar bin Abdul Aziz pulang ke rumah dengan wajah sedih. Ia berkata kepada istrinya:
“Aku telah diuji Allah dengan jabatan ini dan aku teringat orang-orang yang miskin, ibu-ibu janda, dan mereka yang rezekinya sedikit. Aku pun teringat orang-orang tawanan dan kaum fakir miskin. Kelak, mereka akan mendakwaku di akhirat.”
Kehidupannya Umar bin Abdul Aziz berubah drastis setelah ia menjadi khalifah. Ia takut mendapat tuntutan dari rakyatnya di pengadilan akhirat jika ia tidak bekerja dengan benar. Seakan-akan ia merasa bahwa kesempatannya masuk surga menjadi lebih tipis saat ia menjadi khalifah.
Salah satu hal yang mencengangkan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz adalah menyerahkan hampir seluruh hartanya kepada negara. Meskipun ia memperoleh harta tersebut dengan cara halal. Ia pun merupakan keturunan bangsawan yang kaya raya karena ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya.
Umar bin Abdul Aziz menyerahkan harta yang sebenarnya halal karena ia berkomitmen untuk membuat masyarakat sejahtera. Yang lebih menakjubkan lagi adalah istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, juga ikut menyerahkan hartanya dan hidup sederhana untuk menyukseskan cita-cita suaminya.
Umar bin Abdul Aziz bekerja sepenuh tenaga untuk menyelesaikan semua permasalahan negara sebagaimana yang dilakukan kakek buyutnya Umar bin Khattab. Ia tidak ingin orang yang berbuat zhalim bebas melenggang tanpa diadili. Ia tidak mau ada anak yang menangis kelaparan. Ia juga tidak akan membiarkan ada orang yang sakit tidak dirawat dengan baik. Tidak boleh ada anak yang bodoh karena tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Umar bin Abdul Aziz yang dulu dengan pakaiannya yang mahal terlihat gagah, tampan, dan rapi, kini terlihat lelah dan memakai pakaian yang sekedarnya saja. Orang-orang pun bertanya kepada istrinya, apa yang terjadi dengan Umar bin Abdul Aziz. Fatimah berkata:
''Demi Allah, ia tidak tidur semalaman. Demi Allah, ia beranjak ke tempat tidurnya, membolak-balik tubuhnya seolah tidur di atas bara api, Ia mengatakan, ''Ah, ah, aku memangku urusan umat Muhammad SAW, sedang pada hari kiamat aku akan dimintai tanggung jawab oleh fakir dan miskin, anak-anak dan para janda."
Umar bin Abdul Aziz mengatakan bahwa dulu ia menginginkan jabatan khalifah, kini ia tidak menginginkann lagi. Umar bin Abdul Aziz kini menginginkan mendapat ridho Allah SWT. Dan ia menggunakan segala sesuatu yang selama ini ia kejar dan telah ia dapatkan untuk mendapatkan ridho Allah SWT.
Keseriusan Umar bin Abdul Aziz mendapatkan surga dengan menggunakan jabatannya, membuat masyarakat menjadi sejahtera. Kebutuhan masyarakat terpenuhi sehingga tidak ada lagi yang miskin. Akibatnya uang zakat menumpuk dan tidak bisa didistribusikan. Menjadi sejarah dalam kehidupan umat manusia adanya negara yang mampu memberantas kemiskinan. Padahal wilayah kekuasaan khalifah Umar bin Abdul Aziz saat itu mencapai tiga benua ( Asia, Eropa, dan Afrika).
Umar bin Abdul Aziz telah mendapatkan semua keinginannya. Ia telah berada di puncak kesuksesan manusia di dunia. Ia mendapatkan harta, tahta, dan wanita. Namun ia mengejar hal yang lebih tinggi dari itu semua. Ia ingin mendapat ridho Allah SWT. Ia mengetahui hal yang paling berharga baginya.
Setiap kali sholat, setiap muslim membaca surah Al-Fatihah. Di dalamnya tercantum sebuah doa:
"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka (QS. Al-Fatihah ayat 6-7)"
Itu adalah satu-satunya doa yang tercantum di dalam surah Al-Fatihah. Meskipun selalu dibaca di dalam sholat, tidak semua muslim menyadari betapa berharganya “petunjuk jalan yang lurus”. Ada yang mengucapkannya namun hatinya tidak sungguh-sungguh meminta hidayah. Ia tidak menganggap berharga hidayah. Seandainya ia betul-betul menginginkan hidayah, tentu ia akan mantap mengucapkannya saat membaca Al-Fatihah.
Sudahkah Anda memutuskan hal yang paling berharga di dalam hidup Anda? Apakah Anda tahu apa yang Anda mau?
Wallahu a’lam bishshowab.
Posting Komentar