Suatu hari anak penulis menceritakan gurunya yang berkewarganegaraan Turki. Karena gurunya sudah tinggal beberapa tahun di Indonesia, ia mulai lancar berbahasa Indonesia. Ia bercerita kepada murid-muridnya tentang kapal dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Tiba-tiba gurunya kesulitan menyebutkan nama suatu benda dalam bahasa Indonesia. Ia berkata, "Tali yang terbuat dari lingkaran-lingkaran besi yang bersambung-sambung, apa namanya itu?" Anak penulis dan teman-temannya menjawab, "Rantai." Gurunya berkata, "Bukan, bukan rantai." Kembali ia menjelaskan bentuk benda yang ia maksud. Seingatnya bahasa Indonesianya bukan rantai tetapi kata yang lain. Setelah berusaha menjelaskan lebih detil, tetap gambaran yang ia maksud adalah rantai.
Anak penulis dan teman-temannya menjadi gemas. Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu mereka. Sejak kecil mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia. Akhirnya masalah diselesaikan dengan mencari gambar rantai di google.
Guru tersebut susah untuk diyakinkan bahwa benda yang dimaksud adalah rantai karena bisa jadi ia sudah pernah mendengar kata rantai tetapi salah dalam mengartikannya. Akan lebih mudah baginya untuk mempercayai apa yang dikatakan murid-muridnya jika ia belum pernah mendengar kata rantai sama sekali.
Jika seseorang sudah mempunyai pendapat lebih dahulu, akan lebih sulit untuk merubah pendapatnya. Informasi yang sudah diyakini lebih dahulu akan membuat seseorang cenderung sulit untuk menerima informasi baru yang bertentangan dengan informasi sebelumnya.
Contohnya adalah seseorang yang sejak kecil sudah terbiasa dengan madzhab Syafi’i, ia akan merasa aneh melihat seseorang yang mengamalkan madzhab Maliki. Bagi yang sejak kecil mengikuti faham Imam Syafi’i bahwa air liur anjing itu najis akan susah menerima bahwa air liur anjing tidak najis. Ia menghindari liur anjing karena harus repot membersihkannya. Sholatnya tidak sah jika tubuhnya terkena najis. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Ketika anjing menjilat bejana, maka basuhlah tujuh kali dengan dicampuri tanah pada awal pembasuhannya. (HR. Muslim)"Bagi ulama-ulama yang bermadzhab Maliki anjing tidaklah najis. Perintah Nabi Muhammad SAW agar mencuci bekas air liur anjing beberapa kali dan cucian pertama dicampur dengan tanah bukan berarti menunjukkan bahwa liur anjing najis. Nabi tidak secara tegas menjelaskan latar belakang perintah mencuci tersebut. Bisa jadi tujuan mencucinya bukan karena masalah najis tetapi masalah lain. Misalnya karena masalah kesehatan.
"Sucinya bejana kalian semua ketika dijilat anjing adalah dengan dibasuh tujuh kali, yang pertama dicampuri oleh tanah. (HR. Muslim)."
Hasil penelitian saat ini membuktikan bahwa air liur anjing ternyata mengandung bakteri berbahaya yang bisa mati jika dicuci dengan air yang dicampur tanah. Meskipun demikian, pendapat yang dianut oleh para ulama Syafi’i bahwa liur anjing najis juga belum tentu salah. Bisa jadi Nabi menyuruh karena Najis. Karena ada riwayat yang menggunakan kata “sucinya”. Kata suci digunakan untuk menjelaskan tidak adanya najis.
Bayangkan jika ada seseorang yang sejak kecil mengikuti pendapat air liur anjing adalah najis, tiba-tiba melihat temannya bermain-main dengan anjing. Meskipun ia sudah diberikan penjelasan perbedaan fikih tersebut, tentu terasa berat baginya untuk menerima begitu saja. Sebaliknya bagi yang mengikuti madzhab Maliki, karena informasi awal yang ia miliki adalah air liur anjing tidak najis, ia merasa heran dengan yang memandangnya sebagai najis.
Merubah pemahaman yang telah diyakini lebih dahulu cukup sulit. Apalagi jika perubahan tersebut bersifat kebalikan. Itulah sebabnya Imam Malik menolak tawaran khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menyeragamkan fikih yang berlaku dengan menggunakan madzhab Imam Malik. Khalifah mengatakan bahwa ia ingin kaum muslimin menggunakan Kitab Al-Muwatha sebagai rujukan. Imam Malik berkata:
Wahai Amirul Mukminin, adapun menggantungkan kitab Al-Muwattha, maka sesungguhnya para sahabat telah berbeda pendapat dalam masalah furu' dan mereka telah menyebar (di berbagai negeri) dan masing-masing mereka telah benar menurut ijtihad mereka.
Imam Malik tidak mau memaksa kaum muslimin mengikuti madzhabnya meskipun ia merasa pendapatnya benar. Bisa jadi di negeri-negeri lain pendapat madzhab lain lebih tepat. Selain itu perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) adalah hal yang diperbolehkan. Yang tidak dapat ditolerir adalah perbedaan pendapat dalam masalah ushul (pokok).
Penjelasan antara yang pokok dan cabang dapat diilustrasikan sebagai berikut. Seandainya minuman dikelompokkan dalam dua hal pokok, maka ia bisa dikelompokkan menjadi minuman sehat dan minuman beracun. Memilih meminum jeruk atau meminum susu adalah hal yang diperbolehkan karena sama-sama cabang dari kelompok minuman yang sehat.
Jika ada yang berkelahi dalam masalah mana yang lebih baik jeruk atau susu, itu adalah perbuatan yang tidak perlu. Berbeda dengan minuman keras (khamr) yang memabukkan dan merusak kesehatan. Ia tidak termasuk dalam cabang yang sama dengan jeruk dan susu. Ia termasuk dalam kelompok minuman yang beracun. Permasalahannya adalah ada orang-orang yang sangat keras dalam masalah perbedaan yang sebenarnya cabang. Seakan-akan itu adalah perbedaan yang pokok.
Ada juga yang sebenarnya mengetahui itu adalah hal yang cabang. Tetapi mereka tidak bisa menerima pendapat orang lain karena sangat kuat memegang pendapat gurunya. Kelompok seperti ini biasanya ekslusif dan mengarahkan murid-muridnya untuk tidak berguru kepada orang-orang di luar kelompoknya.
Mereka memegang prinsip “kebenaran hanya satu”. Mereka susah menerima pendapat yang berbeda dengan pendapat yang lebih dahulu mereka terima. Seharusnya ketika mereka melihat pendapat mereka berlawanan dengan pendapat mayoritas, itu menjadi alarm buat mereka untuk membuka diri dan membaca lebih banyak pendapat orang lain. Bukan membatasi diri dengan melarang membaca kitab-kita yang ditulis oleh ulama di luar mereka.
Orang yang tidak mau menerima pendapat orang lain ini umumnya “mainnya” kurang jauh. Jarang berpetualang ilmu. Mereka minim pengalaman sehingga kurang bijak ketika mengetahui persoalan yang belum pernah mereka temui. Bagi mereka jika mereka tidak tahu dalilnya, berarti itu tidak ada. Padahal dalil yang mereka ketahui sifatnya terbatas.
Memang ada orang-orang yang tidak bisa menjelaskan dalil amalan yang mereka lakukan. Mereka mendapatkannya dari guru mereka secara turun-temurun. Saat itu karena fasilitas (kitab dan sekolah) sangat terbatas, tidak terpikir untuk mencari dalilnya. Dengan semakin banyaknya kitab-kitab yang sudah diterjemahkan dan mulai banyaknya orang-orang mempelajari agama dengan tekun, hal-hal yang dulu tidak diketahui dalilnya ternyata ada dasar hukumnya.
Obat bagi orang-orang yang tidak siap berbeda pendapat adalah dengan memperbanyak “bepergian”. Menjelajahi kitab-kitab yang lebih banyak. Membaca lebih lengkap terhadap kitab-kitab yang selama ini hanya dinukilkan saja oleh gurunya. Bisa jadi potongan yang disampaikan oleh gurunya tersebut belum utuh. Bisa jadi gurunya pun hanya mendapat potongan singkat dari guru sebelumnya dan tidak langsung membaca kitabnya
Banyak orang yang mengaku bahwa dulu mereka sangat keras dalam agama karena kurang dalam membaca. Setelah mereka mulai membuka diri dengan memperbanyak membaca kitab-kitab yang ada, mata mereka mulai terbuka. Ternyata banyak sekali dalil-dalil yang baru mereka ketahui dan pendapat-pendapat yang baru mereka fahami. Mereka tidak lagi berani membid’ahkan hal-hal yang dulu dengan mudah mereka tuduhkan kepada orang lain.
Penulis pernah membaca tulisan seseorang yang menghina ulama. Ia menuduh ulama tersebut karena buku yang ditulis ulama tersebut. Kebetulan penulis pernah membaca buku yang dimaksud. Tampaknya penuduh belum pernah membaca buku tersebut secara utuh. Sepertinya ia hanya menukil pendapat gurunya. Entah alasan apa yang akan ia siapkan jika ulama yang dihinanya menuntut di akhirat.
Wallahu a’lam bishshowab.
Posting Komentar