Penulis mengikuti acara parenting di sekolah Al Fatih Samarinda. Ada penampilan anak-anak yang menyanyikan lagu "Ya Maulana".
Sebenarnya penulis sudah sering mendengar lagu yang dipopulerkan oleh Opick tersebut. Namun, biasanya penulis hanya fokus pada nadanya tanpa memperhatikan liriknya.
Lagu yang dinyanyikan secara langsung di depan mata membuat penulis memperhatikan lirik yang dinyanyikan. Tiba-tiba air mata penulis mengalir.
Liriknya begitu pas dengan perasaan yang saat itu ada di dalam hati penulis. Berikut potongan liriknya:
Engkau Pemurah.
Engkau Penyayang.
Engkau Allah Allah.
Yang Maha Dermawan.
Yang Maha Kaya.
Yang Maha Memberi.
Mengabulkan setiap doa dan harapan.
Penulis mungkin terbawa kondisi hati karena berada di hari-hari i'tikaf di bulan Ramadhan. Pas lagi fokus beribadah kepada Allah SWT, pas sifat-sifat Allah SWT diperdengarkan. Pas lagi kuat-kuatnya keinginan mendapatkan Rahmat Allah SWT, pas disebut-sebut namaNya.
Penulis pernah mendengar sahabat penulis yang menceritakan pengalamannya saat berceramah. Menurutnya ceramahnya isinya biasa saja. Ia menyampaikan hadits tentang keutamaan memiliki anak perempuan.
Di dalam sejarah, perempuan pernah dianggap warga kelas dua dibandingkan kaum laki-laki. Seorang ayah merasa lebih bahagia mendapat anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Ternyata memiliki anak perempuan memiliki kelebihan sebagaimana yang disebutkan di hadits-hadits Bahkan di dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa anak perempuan bisa menjadi perisai bagi orang tuanya dari api neraka.
Selesai ceramah ada jamaah yang mendatangi kemudian menangis. Rupanya ceramah beliau tentang keutamaan anak perempuan membuatnya merasa bersalah.
Ceramah yang mungkin biasa saja bagi jamaah yang lain ternyata menjadi luar biasa bagi pendengar yang kebetulan memiliki frekuensi yang sama dengan tema ceramah. Rupanya ia selama ini lebih mengutamakan anak laki-lakinya dibandingkan anak perempuannya. Ia tidak merasa bersyukur memiliki anak perempuan.
Pas selama ini telah tidak berlaku adil kepada anak perempuan, pas mendapat ceramah tentang keutamaan memiliki anak perempuan. Kesamaan frekuensi yang bisa menghancurkan benteng yang selalu ia gunakan untuk melawan hati nuraninya.
Faktor Internal dan Eksternal yang Saling Mendukung
Sesuatu akan bisa memiliki dampak yang kuat jika kondisi-kondisi yang saling mendukung bertemu. Faktor internal yang didukung faktor eksternal akan membuat segalanya menjadi memuncak.
Makanan akan terasa nikmat jika memenuhi dua kondisi. Yang pertama adalah perut yang lapar. Yang kedua adalah makanan yang sedap. Orang yang kelaparan bisa menjadi kalap jika bertemu makanan yang sangat ia sukai.
Meskipun bertemu makanan sedap, jika perut dalam keadaan kenyang, makanan tidak akan terasa nikmat. Makan sepuluh tusuk sate akan terasa nikmat. Namun, jika makannya diteruskan sampai tusuk sate yang ke-100, bukan lagi nikmat yang terasa tapi mual yang muncul.
Ketika perut sudah kenyang dan tidak sanggup lagi menerima makanan, perut akan memuntahkannya. Meskipun ia adalah penggemar berat makanan sate. Sate yang seharusnya nikmat menjadi terasa memuakkan.
Ada yang mengatakan bahwa faktor internal lebih menentukan daripada faktor eksternal. Dalam kondisi sangat lapar, makanan yang tidak enak akan menjadi sedap. Sebagaimana pepatah "Lauk yang terbaik adalah lapar."
Percuma Jamuan Lezat bagi Orang yang Sakit
Hidangan yang sudah mendapat testimoni nikmat oleh banyak orang tentu tidak perlu diragukan lagi kesedapannya. Jika ada yang belum bisa menikmatinya, maka kesalahannya bukan pada hidangannya. Mungkin ia belum terbiasa menikmatinya atau ada kondisi internal seperti alergi atau trauma yang membuatnya tidak bisa menikmatinya.
Hidangan bagi ruhani adalah beribadah kepada Tuhan. Salah satu hidangannya adalah membaca Al-Quran. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu kalian. ..." (HR Ad-Darimi)
Al-Quran adalah hidangan atau jamuan yang nikmat bagi jiwa. Namun tidak semua orang bisa menikmatinya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah membimbing muridnya dengan beberapa langkah yang membuat muridnya akhirnya bisa menikmati Al-Quran.
Langkah pertama ia menyuruh muridnya saat membaca Al-Quran sendirian, sambil membayangkan sedang berada di hadapan Imam Ahmad. Perintah ini membuat muridnya selalu berusaha membaca Al-Quran dengan baik meskipun tidak bersama dengan Imam Ahmad.
Langkah kedua, setelah muridnya terbiasa membayangkan adanya gurunya berada di hadapannya saat membaca Al-Quran, Imam Ahmad menyuruhnya membayangkan sedang berada di hadapan Nabi Muhammad SAW saat membaca Al-Quran. Seakan-akan Nabi Muhammad SAW hadir di hadapannya mengawasinya membaca.
Meskipun belum pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, karena sudah terlatih merasa di hadapan Imam Ahmad yang tidak terlihat, ia bisa melakukannya. Rasa hormat yang begitu kuat kepada Nabi Muhammad SAW membuat muridnya menjadi lebih berhati-hati lagi dalam membaca Al-Quran.
Langkah terakhir, Imam Ahmad menyuruhnya membaca Al-Quran sambil merasakan seakan-akan Allah SWT sedang melihatnya membaca Al-Quran. Tentu ini lebih sulit karena Allah SWT tidak boleh dibayangkan. Allah SWT tidak terbatas ruang dan waktu. Ia hanya boleh merasakan sedang dilihat Allah SWT saja tanpa membayangkan wujud Allah SWT.
Hari berikutnya Imam Ahmad menemui muridnya dalam keadaan mata sembab karena menangis. Ia berkata, “Ya Imam, demi Allah, sepanjang malam aku tidak bisa menyempurnakan bacaan surat al-Fatihah.” Ia menangis terus-menerus sehingga tidak sanggup lagi membaca Al-Quran karena merasakan keagungan Al-Quran.
Setelah murid Imam Ahmad menyelesaikan faktor internal berupa keyakinan bahwa Allah SWT melihatnya membaca Al-Quran, muridnya mulai menikmati Al-Quran sebagai hidangan. Ia telah memiliki frekuensi yang sama dengan orang-orang sering menangis saat membaca Al-Quran.
Al-Quran adalah hidangan. Bahkan Nabi Muhammad SAW yang menerima Al-Quran, juga sangat menikmati Al-Quran dan suka mendengarnya.
Di dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah menangis saat mendengar ayat Al-Quran dibacakan. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Masud:
“Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku, 'Bacakanlah Al-Qur`an untukku.' Maka aku pun berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacanya untuk Anda, padahal kepada engkaulah Al-Qur’an diturunkan?' Ia menjawab, 'Ya.' Lalu aku pun membacakan surat An Nisa, hingga aku sampai pada ayat, 'Dan bagaimanakah sekiranya Kami mendatangkan manusia dari seluruh umat dengan seorang saksi, lalu kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka.' Maka Beliau pun bersabda padaku, 'Cukuplah.' Lalu aku menoleh ke arahnya dan ternyata kedua matanya sudah meneteskan air mata," (HR. Bukhari)
Beningnya Gambar dan Suara pada Frekuensi yang Pas.
Saat penulis masih kecil, stasiun televisi yang ada hanyalah TVRI. Terkadang jika ada masalah dalam proses penyiaran, TVRI menampilkan tulisan “GANGGUAN BUKAN PADA PESAWAT TELEVISI ANDA”. Ini dilakukan agar penonton tahu bahwa gambar yang tidak bergerak bukan disebabkan karena TVnya rusak. Tetapi ada masalah di studio televisi.
Bayangkan jika gambar di televisi tidak berubah dan pemiliknya mengetuk-ngetuk telivisinya karena mengiranya rusak. Bisa-bisa televisinya rusak betulan karena sering diketuk-ketuk.
Ketika seseorang tidak bisa menikmati hidangan Al-Quran, bukan karena Al-Qurannya yang bermasalah. Penyebab utamanya adalah faktor internal di dalam diri. Beningnya keindahan Al-Quran tidak tertangkap karena frekuensinya tidak pas. Gangguan terletak pada pesawat televisi Anda.
Wallahu a’lam bishshowab.
Masya Allah Tabarakallah Ustadz
BalasHapus