UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Ketenangan Jiwa Kunci Mengenal Tuhan

  


Saat angin bertiup kencang dan menerbangkan kertas yang menampar wajah seseorang, maka orang tersebut tidak akan marah. Berbeda jika yang melemparkan kertas adalah manusia.

Jika yang melempar adalah orang yang tidak disukainya, muncul perasaan marah. Meskipun kertas tersebut tidak menyakitinya secara fisik. Jika yang melempar kertas adalah kekasihnya yang sedang bercanda, muncul perasaan bahagia.

Melihat es kelapa muda yang berada di atas meja berbeda efeknya dengan melihat orang yang sedang meminum es kelapa muda. Melihat orang yang sedang menikmati es kelapa muda bisa menimbulkan efek haus yang lebih kuat dari pada sekedar melihat es kelapa muda saja. Kesegaran yang dirasakan oleh peminum, mempengaruhi perasaan orang yang melihat.

Berinteraksi dengan manusia menimbulkan gejolak perasaan. Berinteraksi dengan benda mati tidak akan mengaduk-aduk emosi. Contohnya berhadapan dengan patung, tidak ada perasaan yang akan muncul. Bandingkan jika berhadapan dengan seseorang dan ia sedang menatap dengan tajam. Bisa-bisa merinding bulu kuduk.

Perasaan sedih, marah, bahagia, iri, takut, malu, dan lain-lain akan muncul jika berinteraksi dengan manusia. Melihat manusia dengan segala kondisi yang terjadi bisa memberikan efek yang bermacam-macam.

Ramainya media sosial membuat pola hidup masyarakat berubah. Begitu banyak kehidupan manusia yang bisa dilihat. Apalagi video-video yang viral biasanya merupakan video peristiwa yang mengaduk-aduk perasaan.

Suatu hari istri penulis melihat di media sosial video seekor kambing yang makan buah anggur. Di Indonesia buah anggur termasuk buah yang relatif mahal. Apalagi ia juga penggemar buah anggur. Tentu saja melihat buah yang ia sukai diberikan ke kambing membuatnya gemas. “Duh, jiwa miskin-ku meronta-ronta,” katanya sambil tertawa.

Kehidupan di media sosial yang semakin mudah diakses bisa menimbulkan ketidakstabilan emosi. Perasaan yang berlebihan seperti sangat marah, sangat sedih atau sangat ketakutan bisa mempengaruhi ketenangan jiwa.

Di kalangan para sufi, ketenangan jiwa adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk kembali kepada Tuhan. Ada korelasi yang kuat antara ketenangan jiwa dengan kemudahan untuk mengenal Allah SWT. Orang-orang memiliki jiwa yang tenang lebih mudah untuk memusatkan perhatiannya untuk Allah SWT.

Puncaknya mereka yang berjiwa tenang saat kembali kepada Allah SWT akan diberi gelar dengan panggilan “Wahai jiwa yang tenang” sebagaimana ayat di dalam Al-Quran:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Secara ilmu dan teknologi, jiwa yang tenang memiliki efek yang kuat terhadap kemampuan akal. Mereka yang dalam kondisi tenang bisa lebih kreatif dan mampu menemukan ide-ide yang luar biasa. Temuan atau ilham sering didapatkan dalam keadaan jiwa yang sedang dalam ketenangan. Wajar jika jiwa yang penuh ketenangan lebih bisa memahami dan menerima konsep ke-Tuhanan.

Kondisi ketenangan seseorang biasanya diukur dari frekuensi otak. Alat yang biasa digunakan untuk mengukurnya adalah Elektroensefalografi (EEG). Alat ini mengukur seberapa banyak listrik yang dihasilkan oleh sejumlah besar sel saraf di sekitar otak. Kondisi tenang yang paling maksimal adalah kondisi gelombang Alfa.

Berdasarkan EEG, gelombang Alfa sering terjadi saat orang menjelang tertidur. Gelombang Alfa ini frekuensinya antara 8 dan 13 hertz (Hz). Gelombang otak dengan frekuensi Alfa ini juga sering muncul saat sedang berdzikir mengingat Allah SWT. Itulah sebabnya mereka yang sering berdzikir bisa menjadi lebih cerdas dan bijaksana.

Mereka yang sering berada dalam kondisi jiwa yang tenang kemampuannya akan meningkat pesat. Sebutlah para ulama yang karya mereka sulit untuk ditandingi di masa sekarang. Lihatlah mereka yang mampu menghafal lebih dari sejuta hadits seperti di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hajar Al-atsqolani.

Selain mampu menghafal sejuta hadits, mereka juga telah hafal Al-Quran yang memiliki lebih dari enam ribu ayat (sekitar enam ratus halaman). Belum lagi jumlah syair-syair yang biasanya menjadi pelengkap ilmu.

Para ulama dengan kecerdasan yang mereka miliki juga membuat kagum dengan karya-karyanya dalam membahas masalah-masalah yang pelik dalam hukum. Argumentasi yang sangat kuat membuat karya-karyanya menjadi warisan selama berabad-abad. Seperti ditulis dengan tinta emas.

Pentingnya memiliki jiwa yang tenang dan tidak terombang-ambing dengan gelombang emosi membuat sebagian orang memilih untuk melakukan uzlah (mengasingkan diri) atau khalwat (menyendiri) pada momen-momen tertentu. Proses khalwat di kalangan para sufi dilakukan saat mereka menjalani suluk. Selama beberapa hari mereka menghindari berinteraksi dengan manusia agar bisa fokus bersama Allah SWT.

Berkhalwat di gua Hira adalah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul. Kesedihannya atas kekacauan masyarakat kota Mekah membuatnya memilih menyendiri untuk menenangkan jiwanya.

Seringnya berkhalwat di gua Hira tentu memberikan peningkatan yang pesat kepada ruhani Nabi Muhammad SAW. Setelah mencapai usia kematangannya pada umur empat puluh tahun, Allah SWT mengutus Malaikat Jibril yang menjadi awal tugasnya sebagai utusan Allah SWT.

Ketenangan jiwa berupa hati yang tidak gelisah karena rasa sedih dan takut juga menjadi ciri-ciri para wali (kekasih) Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus ayat 62)
Saat hati sudah bebas dari rasa takut dan khawatir, ketenangan akan memasuki jiwa. Jiwa yang tenang akan lebih mudah untuk menangkap cahaya hidayah dari Allah SWT. Tidak ada lagi kegelisahan yang mengganggu jiwa.

Kembali ke pembahasan terkait banyaknya video-video di media sosial yang rawan menimbulkan kegelisahan, kemarahan, dan hal-hal yang membuat kelabilan emosi, tentu perlu disikapi dengan baik. Perlu kemampuan untuk melokalisir berita-berita atau informasi yang ditengarai mampu mengaduk-aduk emosi.

Sebagian orang ada yang memiliki kebiasaan membaca komen-komen dari berita-berita yang beredar di media sosial. Berita yang menimbulkan pro dan kontra biasanya mudah memanas dan terjadi saling serang antara yang pro dan kontra.

Saling komen yang mendukung pendapat berakhir dengan saling memaki. Kata-kata makian yang terucap di media sosial membangkitkan emosi sangat kuat karena disampaikan secara terbuka dan dibaca oleh banyak orang. Sulit untuk tidak membalasnya karena serangan sudah terlanjur diketahui oleh banyak orang.

Seseorang yang memiliki sumbu emosi pendek tentu sebaiknya uzlah atau menjauhkan diri untuk berinteraksi di ruang-ruang komen atas berita-berita yang menimbulkan pro dan kontra seperti politik atau SARA. Bagaimana jiwa akan aman dari percikan api jika selalu bermain-main di samping api unggun yang dikelilingi bahan bakar?

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari kerusakan. (HR. Bukhari)
Dengan tingkat ketergantungan teknologi yang ada di zaman sekarang seperti listrik dan bahan bakar, tentu sulit untuk uzlah ke gunung atau lembah. Uzlah menghindari berita yang mengaduk emosi rasanya lebih mudah untuk dilakukan.

*Wallahu a'lam bishshowab*

1 komentar

  1. Barakallahu fikk Ustadz sebuah contoh realita yang mudah dimengerti

    BalasHapus
Translate